Tuesday, April 11, 2017

PERAN PUBLIC RELATION DAN MANAJEMEN KRISIS

Manajemen Krisis PT. Pelindo II (Persero) Cab.Pontianak

Krisis yang Dihadapi: Kecelakaan Kapal di Alur Pelayaran Pelabuhan
Sebagai perusahaan yang bergerak dibidang bisnis pelayanan jasa kepelabuhan, tanggungjawab Pelindo adalah mengupayakan kegiatan arus kapal barang dan orang yang ada di pelabuhan tidak terganggu. Kecelakaan kerja merupakan faktor resiko yang mungkin sekali terjadi ditengah aktivitas yang dijalankan Pelindo, akan tetapi ketika sebuah kecelakaan yang menghambat operasional perusahaan tidak dapat ditangani dengan cepat, maka krisis dalam manajemen tidak bisa dihindari lagi. Excellent service dan profesionalisme merupakan jaminan bagi kelangsungan bisnis perusahaan yang bergerak di sektor jasa seperti Pelindo. Jika krisis ini terjadi maka perusahaan harus memberikan perhatian secara penuh dengan memanfaatkan seluruh sumber daya yang ada.
Krisis yang dialami Pelindo terjadi karena peristiwa tabrakan kapal yang disebabkan human error, tidak adanya komunikasi radio antara 2 kapal tersebut dan komunikasi antara nakhoda kapal dengan operator pemandu menjadi sebab kecelakaan. Situasi krisis berlanjut ketika menemui kesulitan dalam mengatasi evakuasi kapal (KLM) Rahmatia Sentosa yang tenggelam menghalangi alur pelayaran di pintu masuk pelabuhan Pontianak dalam waktu singkat karena berbagai halangan dilapangan, kesulitan tersebut menjadi akumulasi permasalahan yang dihadapi Pelindo. Terkait dengan bisnis hal ini mengakibatkan kerugian dan mengganggu operasional bisnis secara normal karena menyebabkan gangguan layanan perusahaan.

Tipe Krisis Pelindo 
Tipe krisis berdasarkan waktu yang terjadi pada PT Pelindo Pontianak adalah krisis yang bersifat segera (immediate crises) yakni terjadi secara tiba-tiba, tidak terduga dan tidak diharapkan, sehingga kurang persiapan. 
Untuk krisis yang bersifat segera tidak ada waktu untuk melakukan riset dan perencanaan. Krisis jenis ini membutuhkan consensus terlebih dahulu pada level puncak, disini General Manager Pelindo cepat tanggap untuk mempersiapkan rencana umum (general plan) mengenai bagaimana bereaksi agar kejadian ini tidak menimbulkan kebingungan, konflik, dan penundaan dalam menangani krisis yang muncul. 

Krisis yang terjadi secara mendadak karena kecelakaan tabrakan kapal yang tidak dapat diduga sebelumnya seperti ini merupakan gangguan didalam bisnis perusahaan Pelindo, terjadi tanpa peringatan dan telah menghasilkan berita. Kejadian ini menarik perhatian media massa karena dampak kerugian meluas yang dialami oleh pelanggan, pemerintah daerah, masyarakat luas, negara, bahkan pendapatan dan reputasi Pelindo sendiri dipertaruhkan. Penggolongan tipe krisis dibentuk untuk memastikan konsistensi penilaian tentang segala situasi krisis yang terjadi tiba-tiba sehingga bisa dihadapi dengan tingkat respon komunikasi yang baik.

Tahapan Krisis Pelindo
1.   Tahap Prodromal
Pada awal krisis kecelakaan kapal di alur pelayaran pelabuhan Pontianak, Pelindo masih belum dapat mengidentifikasi sinyal-sinyal akan terjadinya kecelakaan tabrakan kapal di alur muara. Semua itu terjadi karena memang kejadian kecelakaan yang tiba-tiba terjadi pada tengah malam dan tidak diperkirakan sebelumnya. Kejadian karamnya kapal atau hanyutnya kapal-kapal sejenis Kapal Layar Motor (KLM) yang terbuat dari bahan kayu memang sudah biasa terjadi. Tetapi tidak pernah sampai mengganggu aktivitas pelabuhan secara keseluruhan. Karena model pelabuhan Pontianak ialah pelabuhan rakyat, jadi banyak kapal-kapal kayu yang masih digunakan karena lebih murah, dan karena tipe pelabuhan sungai yang alurnya melalui muara sungai, maka kondisi alam sangat berpengaruh baik mengenai pasang surutnya air dan lumpur yang menutupi alur pelayaran yang membutuhkan perhatian untuk selalu dikeruk agar lebih luas dan dalam sehingga dapat dilalui kapal-kapal besar. Melalui pos pandu Pelindo yang mengetahui kejadian kecelakaan pertama kali, KLM Rahmatia Sentosa bertabrakan dengan Kapal Motor (KM) Wewah dan karam ditengah muara Jungkat, saat itu juga Pelindo melaporkan kepada Adpel sebagai pemilik otoritas pelayaran. Kedua institusi ini langsung berkoordinasi dan masih menganggap bahwa evakuasi dapat dilakukan dengan cepat dengan target dalam empat hari kapal yang tenggelam akan dapat digeser sehingga alur pelayaran pun akan bebas hambatan. Ketidaktelitian Pelindo dan Adpel sangat jelas terlihat ketika menganggap evakuasi tidak akan sulit dilakukan karena kapal Rahmatia Sentosa yang hanya terbuat dari kayu akan mudah digeser. 
2.   Tahap Akut
Pada tahap ini kasus kecelakaan kapal di alur pelayaran mencuat  di media massa dan dikaitkan dengan langkanya BBM di seluruh wilayah Kalimantan Barat, hal tersebut dikarenakan kapal tanker Pertamina tidak bisa melewati alur yang terhalang KLM Rahmatia Sentosa yang karam dan akhirnya tidak dapat menyalurkan pasokan BBM untuk daerah KalBar. Krisis BBM berlangsung cukup lama akhirnya mengindikasikan kurang tanggapnya evakuasi terhadap kapal yang karam ditengah alur muara tepat dipintu masuk alur pelayaran pelabuhan.  Pelindo dan Adpel sebagai institusi yang mengurusi pelaksanaan dan menjamin kelancaran aktivitas pelabuhan menjadi sorotan media dan masyarakt luas pada umumnya. Kelangkaan BBM sangat mempengaruhi kegiatan masyarakat seharihari, kerugian diberbagai aspek kehidupan masyarakat pun tak dapat dielakkan. Ketidaksigapan Pelindo dan Adpel pada upaya menyelesaikan evakuasi menimbulkan dampak efek domino bagi wilayah Kalbar. Krisis yang terjadi semakin memburuk ketika evakuasi tidak berjalan lancar dan melebihi target empat hari penyelesaian. Banyak ditemui kesulitan dalam evakuasi yang tidak diduga sebelumnya yakni muatan KLM Rahmatia Sentosa yang terdiri dari 14 ribu zak semen sudah membatu karena tercampur air.  Hal tersebut menyimpulkan ada kelemahan dalam kurang tepatnya pengambilan keputusan dalam segi teknis evakuasi. Keadaan yang berlarut-larut pun menjadi bukti kurangnya upaya dalam mengandalkan seluruh sumber daya yang ada untuk menyelesaikan proses evakuasi dengan cepat sehingga menimbulkan kerugian diberbagai pihak.
3.   Tahap Kronis
Pada saat krisis Pelindo tahap ini ditandai dengan kesulitan yang terus ditemui selama proses evakuasi. Selain kesulitan yang ditemui dilapangan karena kondisi kapal yang tenggelam kesulitan juga terdapat dalam segi teknis tenaga ahli, alat yang tersedia, bahkan menyangkut biaya yang diperlukan. Dampak akibat kejadian ini pun meluas pada berbagai aspek ekonomi secara keseluruhan di Kalimantan Barat. Kondisi ini menjadi perhatian banyak kalangan dan pemerintah daerah ikut melakukan intervensi pada masalah yang ada. Institusiinstitusi yang berkaitan dan berpengaruh pada aktivitas pelabuhan dilibatkan untuk berkoordinasi mencari jalan keluar dan mengatasi masalah-masalah yang muncul belakangan akibat proses evakuasi kapal yang belum terselesaikan.
4.   Tahap Resolusi
Tahap resolusi disebut juga tahap penyembuhan, dimana setelah evakuasi kapal berhasil dilakukan dan krisis mulai berlalu Pelindo mempersiapkan strategi awal yang baik sehingga kejadian serupa tidak terjadi lagi dimasa mendatang. Pada tahap pasca krisis ini Pelindo juga mempersiapkan langkah-langkah
antisipasi mencegah krisis serupa terjadi yaitu: 
        Memperketat pengawasan keluar masuknya kapal di alur pelayaran pelabuhan Pontianak, khususnya di area muara sungai Kapuas yang memiliki alur sempit.
        Perlunya kebersamaan dalam menggunakan alur dengan menghimbau pengguna alur untuk tertib di dalam berlalu lintas di perairan dan bekerjasama dengan Adpel selaku pemilik otoritas alur pelayaran untuk berlaku tegas dalam memberi sanksi hukum bagi nakhoda yang lalai hingga menyebabkan kecelakaan.
        Terkait proses hukum kedua nakhoda kapal, Pelindo membantu Adpel dalam melakukan BAP (Berkas Acara Pemeriksaan) dan akan dinaikkan ke Mahkamah Pelayaran (MP).
        Pelindo dalam proses memasukkan kapal ke pelabuhan tetap mengutamakan safety (keamanan). Pemilik kapal harus mengikuti ketentuan masuk dan menjaga alur seaman mungkin agar proses keluar masuk kapal tertib dan selamat. Adpel Pontianak akan meningkatkan pengawasan terhadap keluar masuknya kapal motor. 
        Pelindo meminta pemerintah daerah (Adpel selaku otoritas alur) melakukan upaya pengerukan 1 juta meter kubik sehingga kedalaman alur Muara Jungkat lebih terjamin. Pada tahun 2010 pengerukan sudah dilakukan PT Pelindo dengan dana Pelindo sebesar Rp.27 miliar sebagai wujud kepedulian Pelindo terhadap pemerintah daerah.
Kronologis Kejadian Kecelakaan dan Proses Evakuasi
Kecelakaan dialami oleh Kapal Layar Motor (KLM) Rahmatia Sentosa, kronologi kejadian yakni KLM Rahmatia Sentosa yang terbuat dari bahan kayu berusaha masuk alur sungai Kapuas atau tepatnya di Muara Jungkat. Saat bersamaan KM Waweh kapal kargo dari bahan besi berangkat dari Pelabuhan Dwikora juga menggunakan alur itu sehingga terjadilah tabrakan antarkedua kapal tersebut. Lokasi kecelakaan merupakan pintu masuk ke pelabuhan, lokasinya berjarak 15 kilometer dari pusat Kota Pontianak. Setiap kapal yang akan merapat di dermaga pelabuhan, harus melintasi Muara Jungkat. KLM Rahmatia Sentosa yang tengelam mengangkut sekitar 700 ton semen, atau setara sekitar 14 ribu zak semen. Satu zak semen yang sebelumnya berukuran 50 kilogram, karena tercampur air sudah membatu dan beratnya menjadi 72 kilogram. Hal inilah yang menyebabkan sulitnya proses evakuasi dengan cepat, karena badan kapal yang memuat beban semakin berat sulit untuk digeser. Akibatnya kegiatan lalu lintas laut melalui jalur pelayaran Pontianak lumpuh total. Badan kapal tersebut tenggelam menutupi jalur pelayaran, sehingga kapal-kapal yang keluar masuk tidak bisa berlayar. Sekitar puluhan kapal-kapal yang akan masuk ke Pontianak melalui alur pelayaran tersebut, terpaksa berlabuh di tengah laut di kawasan Buih Sepuluh Muara Jungkat Pontianak.
Terkait penyebab peristiwa tabrakan KLM Rahmatia dengan KM Wewah, adalah human error yang disebabkan tidak adanya komunikasi radio antara 2 kapal dan komunikasi antara kapal dengan operator pemandu. Kapal yang mengalami kecelakaan ini tidak wajib pandu, karena berdasarkan ukuran kapal, jika kurang dari 500 GT (gross ton) maka kapal tidak wajib menggunakan pandu. Meskipun demikian, seharusnya kapal melapor pada stasiun pandu di Jungkat, tetapi kedua kapal tidak melapor pada stasiun pandu sehingga tidak ada komunikasi. Setiap kapal memiliki hak untuk mengajukan permohonan pelayanan kapal dan barang (PPKB) kepada Pelindo. Sedangkan berkaitan tindaklanjut  berkaitan peristiwa tabrakan, Adpel (Administrator Pelabuhan) yang memiliki kewenangan otoritas alur yang bertindak membuat berita acara pemeriksaan pendahuluan dan melakukan penyelidikan. Terkait proses hukum kedua nakhoda kapal BAP (Berkas Acara Pemeriksaan) dinaikkan ke Mahkamah Pelayaran (MP).
Proses evakuasi kapal yang tenggelam memakan waktu yang cukup lama yakni tiga minggu sejak 10 Febuari hingga 5 Maret 2011. Meskipun sudah melibatkan berbagai pihak yang ikut berpartisipasi dan berkoordinasi dalam proses evakuasi namun banyak kendala di lapangan yang menyebabkan hal ini tidak bisa tertangani dengan cepat. Pihak yang berkordinasi dan menjadi satu tim dalam penanganan proses evakuasi diantaranya Pelindo, Administrator Pelabuhan
Pontianak (Adpel), Kantor Administrasi Pelayaran, KPLP, Kementrian Perhubungan RI, serta TNI-AL Pontianak. Beberapa kali upaya evakuasi dilakukan namun selalu gagal, kendalanya antara lain medan yang cukup berat, seperti arus deras, badan kapal yang tertutup lumpur setinggi tiga meter dan semen yang telah membatu dan menyatu sehingga sulit diangkat. Selain itu tidak adanya tenaga ahli yang bisa mengoperasikan alat pengapungan balonisasi, sehingga perlu mendatangkan tenaga dari Batam dan Jakarta, sedangkan proses negosiasi berjalan cukup lama karena menyangkut biaya yang sangat besar. 

Akibat Krisis

Dampak dari tenggelamnya kapal, negara mengalami kerugian yang signifikan, karena alur perairan yang masuk maupun keluar menuju Pelabuhan Dwikora Pontianak mengalami kendala. Dengan masalah evakuasi kapal yang terjadi berlarut-larut, maka berpengaruh terhadap pencapaian pendapatan negara melalui Ditjen Bea Cukai Kalimantan Barat. Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kalimantan Bagian Barat mengeluarkan data Bea masuk yang didapat negara melalui Pelabuhan Dwikora Pontianak hanya Rp1.310.657.000 pada Februari 2011. Jumlah ini sangat jauh menurun bila dibanding bea masuk pada Januari 2011, yang mencapai Rp3.307.343.000.  Sedangkan bea keluar pada Januari 2011 tercatat Rp5.844.463.833 dan Bea keluar hingga 27 Februari 2011, tidak mengalami pemasukan sama sekali alias nol. Jika alur pelayaran diatasi dengan segera, ekspor-impor melalui Pelabuhan Dwikora Pontianak kembali bisa lancar. Dengan demikian, target bea masuk dan bea keluar juga menjadi lancar (Pontianak Post 1 Maret 2011). 
Kecelakaan kapal dan lamanya proses evakuasi yang diungkapkan media sebagai krisis dan penyebab kerugian meluas di aspek masyarakat Kalbar sudah membawa dampak signifikan  juga bagi Pelindo, bukan hanya berdampak pada citra Pelindo sendiri tetapi juga citra manajemen yang dijalankan selama ini karena di duga pelayanan pemanduan kapal dan pengawasan terhadap kapal kurang ketat. Diperparah lagi dengan pemberitaan media yang mengatakan

Bukan hanya itu saja, tragisnya krisis yang disebabkan lambatnya proses evakuasi kapal Rahmatia Sentosa di alur Muara Jungkat tersebut menyebabkan wilayah Kalimantan Barat mengalami krisis pasokan BBM. Distribusi Bahan Bakar Minyak (BBM) dan pasokan sembilan bahan pokok (Sembako) jadi tersendat karena kapal pengangkut dan kapal tanker Pertamina yang tidak dapat merapat di dermaga pelabuhan. Harga kebutuhan pokok naik, antrian BBM panjang dengan harga di tingkat eceran mencapai Rp. 15.000 hingga Rp. 20.000 per liter, kebutuhan barang pokok yang dikirim dari berbagai daerah di luar Kalbar tidak bisa masuk bahkan banyak yang membusuk di kapal. Puluhan kapal tidak bisa merapat ke pelabuhan dan efek domino dari keadaan ini terus meluas, seperti terhambatnya arus barang, orang dan jasa menuju Pelabuhan “Dwikora” Pontianak. Selain  BBM langka dan aktivitas pelabuhan Dwikora Pontianak lengang, pendistribusian kebutuhan sembako ke seluruh pelosok daerah Kalbar pun tersendat. Pengusaha ekspedisi jasa angkutan takut mendistribusikan sembako menuju kabupaten/kota di Kalbar karena khawatir soal bahan bakar. Keterlambatan distribusi bahan bakar menimbulkan  dampak  inflasi. Harga barang kebutuhan pokok mengalami kenaikan karena menipisnya stok akibat pendistribusian yang terhambat. Tidak hanya pengusaha yang mengalami kerugian, banyak sopir yang menganggur, dan buruh pelabuhan ikut merasakan dampaknya secara langsung. Mereka jadi  pengangguran jika di pelabuhan sepi  bongkar muat.
Melihat fenomena tersebut yang paling dirugikan adalah masyarakat luas sehingga insiden kecelakaan ini menjadi magnet bagi media karena dampak luas yang menyertainya. Kecelakaan ini mendapat liputan luas oleh pers dan umumnya cendrung memojokkan Pelindo. Opini yang berkembang di masyarakat, Pelindo terlalu lama menangani kecelakaan ini dan tidak memiliki antisipasi atas insiden tabrakan kapal, mestinya dapat dicegah melalui pengawasan secara ketat keluar masuknya kapal dengan melakukan pemanduan. Liputan berita Sinar Pagi News tanggal 27 Febuari 2011 dengan reporter Gunawan Wibisono mengatakan:  persoalan di alur muara bukan kali pertama terjadi. Pelindo sebagai pelaksana tehnis, serta peng-akomodir tenaga pemanduan harus lebih proaktif, misalnya diajukan atau tidak diajukan kapal-kapal yang melintas Alur Muara Jungkat harus di kawal, jangan hanya kapal-kapal besar dan bonafit saja yang di pandu.
Menurut salah seorang pengusaha expedisi angkutan bongkar muat pelabuhan, Riyanto, kejadian ini sangat merugikan dan menghambat aktivitas niaga kepelabuhan. Pelindo tetap mengusahakan proses keluar masuk kapal dari alur ke dermaga, walaupun barang-barang diangkut dengan cara estapet atau kapal dari arah asal muatannya dikurangi, tetapi semua itu tetap saja menghambat perputaran ekonomi khususnya di Pontianak. Seperti pernyataan beliau:
Harapan Bapak Riyanto adalah  seharusnya Adpel lebih professional dan teliti dalam mengantisipasi hal-hal seperti ini, Pelindo juga harus lebih transparan, karena selama ini tidak ada informasi yang jelas tentang pengerukan  alur maupun dana tastis guna antisipasi musibah seperti kasus tabrakan kapal Rahmatia Sentosa.

            Strategi Manajemen Krisis Pelindo Pontianak
Krisis akibat tenggelamnya kapal di alur pelayaran pelabuhan Pontianak memiliki dampak tiba-tiba bagi Pelindo secara khusus maupun wilayah Kalimantan Barat secara keseluruhan, dan menyebabkan situasi memburuk secara signifikan. Yakni lumpuhnya aktivitas pelabuhan dan tersendatnya perekonomian wilayah Kalimantan Barat. Situasi yang berlarut-larut karena sulitnya proses evakuasi yang dilakukan dapat menghancurkan reputasi dan kepercayaan publik terhadap Pelindo serta dapat mengganggu aktivitas bisnis dan pendapatan perusahaan. Maka dari itu Pelindo memiliki strategi dalam menangani krisis tersebut. Krisis telah menjadi bagian dari dinamika yang membutuhkan pengelolaan yang tepat dan akan menjadi peluang jika perusahaan memiliki
strategi yang tepat. 
Walaupun sebuah krisis dapat menjadi peluang atau titik balik bagi semakin baiknya sebuah keadaan, tampaknya hampir tidak ada pimpinan organisasi yang mengharapkan situasi demikian untuk memperbaiki keadaan. Atau paling tidak organisasi tidak ingin mengalami suatu krisis. Karena harapan yang demikian, justru akan melupakan bahwa krisis dapat saja terjadi pada perusahaan, sehingga banyak pengelola perusahaan yang tidak menyadari pentingnya suatu perencanaan khusus untuk menghadapi dan menangani krisis yang mungkin muncul.  
PT. Pelindo II (Persero) Pontianak tidak memiliki manajemen krisis secara khusus, akan tetapi ketika menghadapi persoalan tenggelamnya kapal di alur pelayaran pelabuhan pada bulan Febuari 2011, Pelindo menyadari bahwa untuk mengatasi krisis manajemen perlu melakukan tindakan, strategi penanganan masalah di lapangan, dan strategi untuk menghadapi pertanyaan publik termasuk pemerintah dan media untuk meminimalkan dampak krisis. Semua itu sudah termasuk didalam strategi manajemen krisis Pelindo. 

Upaya Pencegahan Krisis Dengan Manajemen Resiko
Pelindo menyadari kemungkinan menghadapi kejadian yang tidak terduga sebelumnya karena setiap perusahaan bisa menghadapi masa depan yang bisa berubah arah dan tidak bisa diduga (uncertainty condition). Untuk itu peramalan akan resiko kejadian tidak terduga atau yang dapat berkembang menjadi krisis perlu dilakukan pada situasi pra-krisis. Kemungkinan krisis dalam kegiatan organisasi dapat dilakukan identifikasi melalui manajemen resiko sehingga dapat dikenali resiko yang berpotensial menjadi masalah dalam krisis. Dalam manajemen Pelindo terdapat manajemen resiko yang dibawahi langsung oleh Assisten General Manager. Ini mengidentifikasikan bahwa manajemen Pelindo memandang penting dalam mengelola faktor resiko agar kelangsungan perusahaan dapat diperkirakan.
Manajemen krisis bertujuan untuk menekan faktor-faktor resiko dan faktor ketidakpastian seminimal mungkin. Pelindo menghadapi uncertainly condition atau kondisi yang tidak diduga sebelumnya karena tipe krisis yang muncul adalah sudden crises (tiba-tiba) atau yang bersifat segera (immediate crises) yang disebabkan human error dan kecelakaan kapal yang menyebabkan gangguan layanan hingga permasalahan evakuasi yang mengganggu operasional bisnis secara normal.
Manajemen krisis memang berbeda dengan manajemen resiko. Akan tetapi jika mengelola resiko dengan baik, hal-hal  yang berpotensi menjadi krisis dapat direspon dengan perencanaan yang baik. Manajemen resiko adalah proses pengukuran atau penilaian resiko serta pengembangan strategi pengelolaannya. Strategi yang dapat diambil antara lain adalah memindahkan resiko kepada pihak lain, menghindari resiko, mengurangi efek negatif resiko, dan menampung sebagian atau semua konsekuensi resiko tertentu. Seperti keterangan yang diberikan oleh Bpk. Tonny selaku Assisten General Manager Pelindo: 


Manajemen dapat menanggulangi krisis dengan melakukan peramalan krisis (forcasting), manajemen krisis bertujuan untuk menekan faktor-faktor resiko dan faktor ketidakpastian seminimal mungkin. Setiap perusahaan menghadapi masa depan yang selalu berubah dan arah perubahannya tidak bisa diduga. Esensi manajemen krisis adalah upaya untuk menekan faktor ketidakpastian dan faktor resiko hingga tingkat yang paling rendah. Manajemen krisis diawali dengan mengumpulkan informasi sebanyak mungkin mengenai faktor-faktor yang berpotensi mengakibatkan krisis pada perusahaan. Jika hal tersebut diketahui maka pengambilan keputusan mengenai langkah-langkah yang harus diambil dapat disiapkan sebelum krisis terjadi. 
Langkah-langkah pencegahan sebaiknya diterapkan pada situasi pra krisis, untuk mencegah kemungkinan terjadinya krisis dan manajemen dapat mengupayakan agar krisis tidak menimbulkan kerugian yang besar. Terkait dengan kecelakaan di alur Mura Jungkat, manajemen Pelindo sudah memiliki monitoring resiko dalam sistem manajemen keselamatan kerja. Objek aktivitas bagi Pelindo disini adalah dalam jalur bisnis pemanduan, dalam kegiatan penanganan sudah berusaha menghindari kecelakaan dengan menempatkan operator pada stasiun pandu yang berfungsi mengawasi dan menjaga komunikasi
jarak laut. 
Meskipun potensi kecelakaan berusaha untuk dihindari namun tetap saja bisa terjadi karena human error atau ketidaktertiban pengguna alur lalu lintas pelayaran. Langkah pencegahan krisis ini dilakukan Pelindo karena manajemen Pelindo tidak ingin mengabaikan peluang untuk mengidentifikasikan potensi resiko. Ini perlu dilakukan manajemen untuk memastikan apakah perusahaan berjalan dengan baik atau sebaliknya. 


Upaya Penanggulangan Krisis
Salah satu karakter krisis adalah adanya keterkejutan. Tekanan yang kuat saat penyelesaian krisis adalah bagian dari manajemen krisis. Untuk menyelesaikan krisis tersebut, manajemen Pelindo merespon dengan melakukan intervensi krisis. Langkah intervensi dalam situasi krisis bertujuan untuk mengakhiri krisis. Pelindo merasa harus turun tangan mengelola krisis karena kejadian ini sangat berpotensi mengganggu jalannya kegiatan operasional perusahaan. Pelindo menentukan langkah-langkah pengelolaan krisis sebagai berikut:
a.         Identifikasi Krisis
Identifikasi terhadap krisis perlu dilakukan untuk melakukan perencanaan atau implementasi tindakan tepat yang perlu dilakukan oleh manajemen. Pihak manajemen berusaha menganalisis situasi, berusaha untuk mampu memprediksikan kemungkinan buruk yang akan terjadi selanjutnya, dan merumuskan metode pemecahan masalah atau solusi yang efektif dan efisien.
Krisis terjadi karena permasalahan setelah kecelakaan tabrakan kapal yang menyebabkan salah satu kapal tenggelam dan sulit dievakuasi karena kondisi kapal dan alam serta terbatasnya tenaga ahli, alat, dan biaya yang dimiliki membuat usaha Pelindo untuk menyelesaikan krisis dengan cepat menjadi
tersendat.

b.                Pilihan Strategi
Pilihan strategi adalah upaya yang dilakukan Pelindo untuk mengelola krisis akibat kecelakaan kapal di alur pelayaran pelabuhan. Akibat kejadian tersebut terjadi perubahan dalam lingkungan bisnis Pelindo yang menyebabkan kelangsungan operasional perusahaan menjadi terganggu. Sehingga Pelindo memiliki rencana dalam penetapan strategi menghadapi krisis untuk menghindari keputusan yang justru akan membuat perusahaan terperosok lebih jauh dalam krisis. Pelindo melakukan penetapan strategi generik yakni Adaptive Strategi, langkah-langkah yang diambil mencakup hal-hal yang lebih luas, seperti:
1.Modifikasi operasional: 
Pelindo memiliki tanggungjawab untuk melayani pelanggan dan menjamin kelancaran aktivitas pelabuhan, terkait dengan bisnis yang dijalankan Pelindo adalah pelayanan jasa untuk fasilitas dan kebutuhan kapal pembawa barang maupun penumpang menuju atau keluar pelabuhan Dwikora Pontianak. Karena hambatan di alur pelayaran akibat proses evakuasi kapal tenggelam yang belum selesai, maka kegiatan operasional menjadi tidak normal, Pelindo melakukan halhal berikut untuk mengupayakan pelabuhan tidak dalam kondisi lumpuh total: 
        Pelindo mengupayakan aktivitas bongkar muat kapal tetap berjalan meski dilakukan ditengah muara, dengan proses pemindahan dari kapal ke kapal agar arus barang ke pelabuhan tidak tersendat.
        Meminta Kepolisian Air Pontianak untuk menjaga dan mengamankan aktivitas bongkar muat tersbut agar tidak ada oknum yang memanfaatkan
situasi ini.
        Pelindo mengupayakan aktivitas perusahaan terus berjalan, mengoperasikan kapal-kapal pemandu agar dapat mengelola kapal-kapal yang tetap bisa masuk, kapal dengan kedalaman lambung (draf maksimal)
4 meter dilayani untuk melewati alur yang terhalang KLM Rahmatia Sentosa yang karam sehingga bahan bakar minyak dan sembako bisa masuk.
        Pelindo menjamin kelancaran arus barang, dengan menyediakan tongkang yang dipergunakan untuk bongkar muat barang hingga berat kapal yang akan masuk ke pelabuhan tidak lebih draf 4 meter.
        Terhadap kapal besar yang tidak memungkinkan, Pelindo mempergunakan tongkang yang akan bongkar-muat, dan jika kapal tidak memiliki trem maka disiapkan mobil crane.
        Pelindo membuat surat edaran terkait prasyarat kapal yang dapat melintas alur untuk sementara dan diinformasikan ke perusahaan-perusahaan pengguna jasa pelabuhan Pontianak. Sehingga pihak perusahaan dapat mengantisipasi agar kapal yang hendak memasuki pelabuhan Pontianak memiliki muatan tidak lebih dari 4 meter.
2.Kompromi:
Manajemen Pelindo tidak hanya melibatkan internal perusahaan tetapi juga pihak lain yang berkaitan dan bisa memberikan peran yang membantu untuk menyelesaikan krisis. Pihak-pihak yang terlibat ini bisa dimanfaatkan kapasitasnya untuk menghasilkan expertise judgement, opinion leader statement, ataupun juru runding permasalahan yang ada dan sudah menyangkut kepentingan banyak pihak. Pihak yang dipilih adalah pihak instansi yang memiliki kapabilitas dan dapat dipercaya baik oleh manajemen Pelindo ataupun publik atau masyarakat luas. Keterlibatan pihak-pihak tersebut antara lain dalam bentuk kegiatan:
        Setelah sepekan evakuasi ternyata tidak dapat diatasi oleh Adpel dan Pelindo, maka kedua institusi ini berkompromi dengan melibatkan pihak luar yang terkait dan dapat membantu permasalahan yang ada. Dengan adanya koordinasi pembagian tugas semakin jelas, seperti misalnya TNI AL dan Polisi Air Pontianak mengamankan lokasi kejadian, Adpel berupaya dalam evakuasi, dan Pelindo mengelola arus kapal yang dapat dilayani masuk ke Pelabuhan.
        Mengajak pihak-pihak terkait ke lokasi tempat kejadian dengan menyediakan sarana dan prasarana. Dengan kegiatan ini diharapkan adanya bantuan dan dukungan dari pihak-pihak terkait. Dalam kunjungan tersebut terdiri dari wartawan berbagai media lokal dan nasional, Wakil Wali Kota Pontianak, KPLP, Adpel, anggota DPRD, dll (ada sekitar 40 orang yang ikut serta dalam kunjungan pemantauan tersebut).
        Selain itu sering diadakan diskusi dan rapat koordinasi untuk mencari solusi, salah satunya dilakukan di kantor Pontianak Post: dalam pertemuan
ini beberapa pihak sepakat untuk membentuk “Tim Pemantau Penanggulangan Evakuasi Kapal Rahmatia Sentosa”, tujuannya agar pihak-pihak terkait khususnya Dinas Perhubungan, Adpel, Pelindo, dan Pemerintah Daerah termotivasi untuk bekerja dengan baik mengatasi permasalahan tersebut.
        Adpel dan Pelindo rutin melaporkan dan meminta dukungan dari pemerintah untuk memberi perhatian khusus pada kejadian ini. Salah satunya dalam acara “coffe morning” di Kantor Gubernur Kalbar, Pelindo bersama Adpel melaporkan kepada Gubernur Kalbar Cornelis, upaya yang sudah dilakukan dan kendala dilapangan dalam penanganan evakuasi kapal tersebut.
3.Meluruskan citra:
Manajemen Pelindo merasa perlu memastikan bagaimana citra perusahaan diposisikan di hadapan publik berkaitan dengan peristiwa yang mengakibatkan hambatan operasional di pelabuhan. Maka untuk mendapatkan citra yang baik manajemen perlu memberi informasi mengenai realitas yang terjadi. Dengan adanya insiden tabrakan kapal dan lamanya proses evakuasi kapal tersebut, terbentuk opini di masyarakat kalau Pelindo tidak professional dan kurang baik dalam aktivitas pelayanan pemanduan kapal. Untuk menanggapi hal tersebut jumpa pers dilakukan beberapa kali dihadapan media bersama Adpel bertujuan memberikan informasi penyebab kecelakaan dan penanganan yang akan diambil serta upaya yang telah dilakukan Pelindo agar arus barang tidak terganggu. Menginformasikan kendala yang dihadapi Adpel sehingga proses evakuasi berjalan lama, salah satunya kondisi di lapangan, kurangnya biaya, dan tidak adanya tenaga ahli yang dapat menangani proses evakuasi.

c.                 Komunikasi Krisis
Komunikasi krisis adalah komunikasi antara organisasi dengan publik sebelum, selama, dan setelah kejadian krisis. Komunikasi ini dirancang melalui program-program untuk meminimalisir kerusakan terhadap citra perusahaan. 
Strategi komunikasi yang dijalankan oleh Pelindo II Pontianak melalui General Manager yaitu Ingratiation Strategies (Combs 1994) dimana Pelindo berupaya mencari dukungan publik dengan membentuk pesan berupa pengingatan akan hal-hal yang sudah diupayakan Pelindo untuk membantu mengatasi permasalahan evakuasi kapal di alur pelayaran pelabuhan. Terlihat dari beberapa media yang rutin menginformasikan upaya evakuasi lanjutan dan upaya Pelindo dalam melayani dan menjamin kelancaran barang dan orang dengan mengelola kapal-kapal yang dimungkinkan untuk tetap bisa masuk ke Pelabuhan.
Untuk mempertimbangkan publik organisasi, Pelindo mengambil upaya komunikasi krisis dengan Konferensi Pers.  Strategi ini untuk menanggapi pihak media dan membantu publik mengetahui lebih jauh keadaan yang terjadi sebenarnya, Tim penanganan evakuasi kecelakaan yang terdiri dari pihak Adpel dan Pelindo beberapa kali menggelar konferensi pers dengan materi perkembangan terakhir evakuasi. General Manager hadir mewakili manajemen Pelindo mendampingi kepala Adpel beserta Manager Operasional yang bertindak sebagai pembicara. Fungsinya pada acara itu sebagai pengontrol arus informasi agar tidak terjadi kesimpang-siuran yang membingungkan wartawan. 

Peran Public Relations dalam Manajemen Krisis Pelindo
Adapun peranan public relations dalam manajemen Pelindo terlihat pada aktivitas pokok yaitu melaksanakan penggiat aktivitas public relations sebagai
Back Up Manajemen. Dalam struktur organisasi manajemen Pelindo, Humas dan Pemasaran menjadi satu kesatuan, dibawahi langsung oleh Manager Pemasaran dan Pelayanan Pelanggan serta Assisten General Manager sebagai Pengendalian Kinerja & PPSO. Melihat posisi Humas di Pelindo dapat diidentifikasikan aktivitas Humas lebih banyak berkaitan dengan pemasaran dan pelayanan pelanggan dalam aktivitas bisnis perusahaan.
Ada dua hal yang menyebabkan hambatan kinerja pada public relations Pelindo sehingga peran dari public relations sendiri sangat sedikit dan terbatas, yakni yang pertama karena perusahaan masih belum menganggap penting fungsi public relations dalam manajemen, dan yang kedua praktisi public relations Pelindo sendiri tidak dapat menunjukan peran yang maksimal sebagai public relations. Pelindo termasuk perusahaan yang tidak memanfaatkan public relations secara efektif, karena posisi serta fungsi dan peran public relations dalam manajemen Pelindo adalah dibawah Divisi Pemasaran dan Pelayanan Pelanggan. Penempatan public relations dalam posisi ini tentu saja kurang atau tidak punya akses langsung pada pimpinan perusahaan. Persoalan yang lain dalam manajemen adalah kekurangsadaran bahwa masalah citra bukanlah tanggung jawab public relations semata, melainkan tanggung jawab semua individu anggota perusahaan. Selain itu public relations Pelindo secara pribadi tidak pula memiliki kecakapan dalam menggerakkan aktivitas dan peran public relations secara maksimal. Hal tersebut tercermin pada ketiadaan program perencanaan public relations (PR Planning) atau perencanaan krisis (Crisis Planning). 
Public Relations bisa menjadi pilihan bagi organisasi ketika krisis terjadi, ketika datang masalah seperti media yang memblow up berita Pelindo di koran lokal maupun nasional tentang krisis BBM di wilayah Kalbar yang dikaitkan dengan proses evakuasi kapal yang tidak segera selesai. Public Relations seharusnyahadir dalam organisasi bukan menjadi suatu kebetulan, tetapi hadir sebagai suatu kebutuhan, Public Relations adalah suatu proses yang dilakukan dengan perencanaan. Public Relations hadir sebagai suatu kebutuhan, kebutuhan untuk menjembatani organisasi dengan para pemangku kepentingan
(stakeholders). Jembatan yang dibangun public relations berdiri atas dasar Trust, Honest dan Credibility. Public Relations ada, karena ada kepercayaan. Artinya masyarakat percaya pada organisasi dan organisasi percaya pada masyarakat atas dasar saling pengertian dan win-win solution. Public Relations membangun citra dan reputasi organisasi lewat opini public yang menguntungkan (favourable) melalui kaca mata publik yang memotret aktivitas organisasi di media massa. Lewat citra dan reputasi, organisasi tetap dapat berdiri kokoh dalam ranah kompetisi merebut pangsa pasar dan servis dari organisasi. 
Dengan adanya situasi krisis, perusahaan tidak bisa menghindari tekanan dari media. Pemberitaan yang menyudutkan dan berbagai opini serta asumsi yang tersiar di media massa tidak mudah dielakkan, apalagi kejadian ini telah mempengaruhi berbagai aspek masyarakat terutama ekonomi bagi wilayah Kalbar. Melihat hal ini, peran kehumasan sangatlah penting dalam mengarahkan informasi menuju pengertian dan dukungan publik kepada perusahaan. Hubungan antara public relations dengan media adalah sebuah hal yang tidak dapat dipisahkan, pada satu sisi media dapat menjadi alat bantu yang menunjang berhasil tidaknya strategi public relations sebuah perusahaan dijalankan namun dilain sisi media juga dapat menjadi boomerang bagi perusahaan dan akan mempengaruhi tingkat keberhasilan yang dicapai dari strategi public relations yang dijalankan. 
General Manager Pelindo Sebagai Penggerak Aktivitas Public Relations di Masa Krisis
Pada saat krisis berlangsung, aktivitas public relations oleh manajemen Pelindo lebih banyak dilakukan oleh General Manager selaku pimpinan tertinggi di perusahaan, dengan melihat pertimbangan dibawah ini: 
Pimpinan tertinggi Pelindo Bapak Solikhin selaku General Manager langsung turun tangan pada tahap awal hingga akhir proses penyelesaian masalah, baik secara internal maupun eksternal perusahaan. Perhatian dan keseriusan General Manager menangani evakuasi kecelakaan adalah unsur strategis krisis kehumasan. 
Sedangkan untuk internal sendiri, General Manager meminta bagian pegawai manajemen Pelindo mendapat bagian piket khusus/jadwal penjagaan untuk memantau dan mengawasi proses evakuasi di tempat kejadian, agar informasi dan keadaan terbaru didapat manajemen sebagai pertimbangan untuk memikirkan langkah selanjutnya.
Untuk meluruskan pemberitaan pers, manajemen mengundang wartawan, memfasilitasi mereka yang ingin ikut serta dalam perjalanan para manager dan pimpinan yang tengah sibuk mengurus dan memantau proses evakuasi, dengan menyediakan boat khusus menuju lokasi kejadian. Kegiatan itu akan menimbulkan kesan bahwa pimpinan perusahaan tidak memikirkan hal-hal lain, kecuali mencurahkan perhatian dan energinya untuk mengurusi hal tersebut. Dengan membawa media melihat langsung dan dekat dengan lokasi kejadian Pelindo merasa  tidak perlu banyak bicara, apalagi mengatur gerak-gerik dan apa yang hendak dilaporkan wartawan. Membiarkan wartawan dengan bebas melihat hal-hal yang nyata dengan mata mereka. Kebebasan mengobservasi dan mendapatkan informasi merupakan nilai lebih yang efektif untuk merebut sikap pemihakan wartawan. 
Selain membebaskan wartawan bekerja, selaku General Manager Pelindo merasa harus dengan tangkas mengumpulkan semua informasi yang berkaitan dengan perkembangan evakuasi dan situasi-situasi krisis yang menyertainya guna melayani kebutuhan wartawan akan informasi terbaru.

Beberapa pemberitaan media tentang akibat terjadinya kecelakaan di alur Muara Jungkat mengindikasikan kurangnya pengawasan dalam kegiatan
operasional Pelindo dan kondisi alur yang terlalu sempit untuk lalu lintas kapal sehingga membutuhkan perhatian untuk melakukan tindakan pembukaan alur baru. Selain itu kurang tanggap atas keadaan darurat mengatasi kecelakaan dan lambannya proses evakuasi menjadi agenda berita yang terus menyudutkan Pelindo. Untuk meluruskan pemberitaan tersebut pihak perusahaan melakukan beberapa strategi penyebaran informasi yang dijalankan langsung oleh General Manager sebagai spoke person yakni: 
a.        Mengklarifikasi bahwa pihak yang berwewenang penuh dan memiliki otoritas alur adalah Adpel, sedangkan Pelindo sebagai pelaksana teknis pelayanan jasa. Jadi dalam upaya evakuasi lapangan Pelindo sebagai partisipan.  
b.        Ikut serta memberi informasi mengenai hambatan evakuasi dan mempublikasikan hasil setiap rapat koordinasi dengan pihak-pihak terkait dan upaya yang akan dilakukan selanjutnya dalam evakuasi kapal tenggelam yang menghambat alur pelayaran melalui konferensi pers.
c.        Membuka akses langsung kepada media untuk mendapatkan informasi yang objektif tentang upaya evakuasi yang tengah dilakukan, serta upaya Pelindo dalam membuka akses pelayanan kapal yang masih bisa masuk pelabuhan, dan pimpinan General Manager sebagai spoke person.
d.        Melakukan tindakan langsung sebagai salah satu bentuk aksi “emergency planning” dan sebagai bentuk tanggungjawab perusahaan terhadap pengatur pemanduan kapal di alur dan aktivitas pelabuhan. Pelindo berusaha agar kegiatan pelabuhan tetap berjalan dengan mengupayakan kapal-kapal dengan draft tidak lebih dari 4 meter untuk dipandu masuk ke pelabuhan agar arus kapal dan barang tidak terganggu pelaksanaannya.
Sebuah strategi public relations yang dijalankan oleh perusahaan dalam menghadapi tekanan media yang terkadang menyudutkan perusahaan adalah dengan membuat jalur informasi menjadi satu jalur saja. Pelindo menerapkan “one gate keeper” bagaimana perusahaan menginformasikan berbagai berita yang datang dari perkembangan proses evakuasi, disini Pelindo menjaga segala bentuk manipulasi berita yang digunakan untuk menciptakan asumsi bahwa perusahaan ikut berpartisipasi penuh dalam penyelesaian kasus tersebut.  Perusahaan menjaga objektifitas berbagai informasi yang dibutuhkan oleh media dengan maksud agar berita yang dibuat media memang berdasarkan pada bukti yang kuat dan benar adanya sehingga tidak muncul penyimpangan informasi dalam media, General Manager Pelindo menjalankan peran public relations sebagai satu-satuya sumber informasi dimana wartawan mendapatkan berbagai informasi yang berasal dari tim evakuasi dan apa yang telah diupayakan Pelindo.
Pengambil-alihan peran public relations oleh general manager Pelindo pada saat krisis dikarenakan Pelindo tidak mempersiapkan praktisi public relations untuk menghadapi kejadian besar yang tidak terduga atau sebagai problem solving di dalam manajemen perusahaan. Akan tetapi aktivitas public relations di saat krisis bisa dilakukan oleh siapa saja yang bisa diandalkan dan memiliki kredibilitas di dalam manajemen perusahaan sesuai dengan keputusan top management. Ketika perusahaan sedang mengalami kejadian besar yang berdampak merugikan atau disebut dengan situasi krisis maka perlu adanya keputusan yang tepat untuk memilih strategi atau program penanggulangan krisis.  Keputusan tersebut bukanlah keputusan yang mengandalkan intuisi belaka melainkan berdasar pada keputusan top manajemen dengan dasar pertimbangan dari Public Relations, dimana posisi Public Relations seharusnya berdekatan atau memiliki akses langsung dengan top manajemen. Dalam situasi krisis Pelindo keputusan diatas bisa diambil dengan singkat karena pimpinan tertinggi juga mengemban tugas sebagai public relations. Sehingga ketika seharusnya public relations bisa membantu meringankan kesulitan yang dialami pimpinan, hal tersebut tidak terdapat pada public relations di dalam manajemen krisis Pelindo.   Public Reltaions seharusnya bisa berperan sebagai mata, telinga dan corong dari perusahaan, tidak bergerak sendiri melainkan bergerak bersama seluruh komponen organisasi tersebut, terlebih jika krisis tengah melanda perusahaan. Karena itu peran public relations yang dewasa ini lebih ditekankan pada membantu pemecahan masalah di perusahaan bisa menjadi suatu keharusan. Manajemen Krisis (Crisis Management) merupakan area keahlian yang harus dimiliki oleh setiap public relations, yang berorientasi kepada masa depan dan mencoba mengantisipasi kejadian yang dapat mengganggu hubungan-hubungan penting. Public Relations memiliki peran penting dalam merencanakan program persiapan krisis, manajemen krisis itu sendiri pada waktu terjadi krisis dan strategi setelah krisis selesai ditanggulangi. 
Webster mendefinisikan krisis sebagai titik balik (turning point) untuk menuju keadaan lebih baik atau lebih buruk (turning point for the better or worse), jadi lebih dari suatu situasi ini mungkin perusahaan atau organisasi dapat menjadi lebih baik atau lebih buruk. Akan tetapi krisis akan menjadikan organisasi menjadi lebih baik atau lebih buruk sangat tergantung pada bagaimana pihak manajemen mempersepsikan dan kemudian merespon situasi tersebut atau sangat tergantung pada pandangan, sikap atau tindakan yang diambil terhadap krisis tersebut. Pihak manajemen Pelindo mungkin belum dapat melihat lingkungan organisasinya juga berpotensial menghasilkan bencana, maka belum ada perencanaan krisis sebagai bahan dari perencanaan strategis dan mengalokasikan sumberdaya yang memadai untuk itu. 
Pada saat krisis Pelindo II (Persero) Pontianak dalam hal ini General Manager selalu bersikap transparan kepada semua wartawan. Sebagai wujud keterbukaan Pelindo, bersama Adpel mengadakan acara konferensi pers beberapa kali selama masa krisis. Konferensi pers ini bertujuan untuk memberikan gambaran kepada pers tentang penyebab terjadinya kecelakaan, penyebab lamanya evakuasi, kendala yang dihadapi, dan penanganan lanjutan pada nakhoda kapal yang lalai hingga menyebabkan tabrakan kapal di alur muara. Tidak hanya itu upaya-upaya Pelindo dalam mengatur arus kapal dan barang untuk masuk ke pelabuhan pun selalu diinformasikan, menunjukkan bahwa Pelindo peduli dan menjamin kendala-kendala yang ada di alur muara dapat diupayakan. Hal tersebut dilakukan untuk mencari celah-celah serta mengcounter opini publik yang terlanjur terbentuk di masyarakat tetapi tetap memberikan informasi sejelasjelasnya kepada publik tentang apa yang terjadi dan kondisi sesungguhnya dilapangan. Walaupun Pelindo hanya memberikan counter pemberitaan, tetapi pada saat itu Pelindo menunjukkan keseriusan dalam hal penanganan evakuasi dan menjamin kelancaran arus kapal dan barang untuk wilayah Kalbar. 
Meskipun tidak ada perencanaan manajemen krisis sebelumnya oleh Pelindo, akan tetapi strategi manajemen krisis yang dilakukan Pelindo selaras dengan teori yang ada menurut Firsan Nova dan Rhenald Kasali, yakni dalam upaya pengendalian krisis, perusahaan dapat melakukan dengan cara peramalan krisis (forcasting) dan pencegahan krisis, yang terlihat dari peran manajemen resiko Pelindo dalam menekan kemungkinan kejadian kecelakaan di alur pelayaran. Serta intervensi krisis atau penanganan terhadap krisis dengan strategi adaptive yakni melakukan tindakan yang berupa modifikasi operasional untuk melakukan kelancaran kegiatan pelabuhan, kompromi dalam mencari solusi, dan komunikasi krisis untuk meluruskan citra perusahaan akibat kejadian krisis.
Pasca krisis yang terjadi Pelindo membuat langkah-langkah antisipasi mencegah krisis serupa terjadi lagi seperti memperketat pengawasan keluar masuknya kapal di alur muara sungai Kapuas, berkerjasama dengan Adpel untuk menjaga alur bersama, dan menghimbau para pengguna alur untuk tertib dan tidak mengabaikan teknis pelaporan komunikasi jarak laut di Pos Pemandu.  
Krisis ini membawa keterkejutan dan sekaligus mengancam nilai-nilai penting organisasi serta hanya ada waktu yang singkat untuk mengambil keputusan. Situasi dialami oleh Pelindo ketika kejadian kecelakaan terjadi dan tidak dapat diprediksi sebelumnya bahwa proses evakuasi akan mendapatkan kesulitan dan memakan waktu yang lama. 
Tekanan permasalahan ini juga berdampak pada meningkatnya sorotan terhadap manajemen PT Pelindo Pontianak. Dengan adanya berbagai permasalahan Pelindo, antara lain masalah alur dan pemanduan kapal, akan menambah gairah media massa untuk mengungkap kompetensi manajemen PT Pelindo Pontianak. Keingintahuan media massa tentunya akan mengundang permasalahan baru lagi dan menambah kompleksitas permasalahan di PT Pelindo Pontianak. Hubungan dengan pihak media yang belum pernah intens sebelumnya menjadi faktor membentuk opini dan persepsi negatif di masyarakat terhadap Pelindo. Apalagi kurangnya pengetahuan dari publik mengenai perusahaan Pelindo menambah sulitnya meluruskan informasi bahwa Pelindo sebagai penyedia layanan jasa pelabuhan dan otoritas alur pelayaran ada pada institusi Adpel, sehingga kepengurusan alur bukan sepenuhnya tanggungjawab dari Pelindo. Dengan adanya situasi krisis yang berdampak luas pada masyarakat tentu saja informasi ini tidak akan berpengaruh banyak pada persepsi publik sebelumnya. Namun untuk menanggulanginya Pelindo telah berupaya dan melaksanakan berbagai kegiatan yang terkait dengan media ketika permasalahan ini muncul agar mendukung pemulihan persepsi media dan publiknya. 
Melihat perkembangan krisis di PT. Pelindo II (Persero) Pontianak,
nampaknya permasalahan sudah mencapai tahap kronis dengan
mempertimbangkan hal-hal berikut: 
1.        Dampaknya meluas pada kegiatan ekonomi suatu wilayah.
2.        Melibatkan banyak pihak untuk menyelesaikan permasalahan. Hal ini berarti, insiden ini telah menjadi perhatian besar media massa, artinya menjadi perhatian masyarakat luas.
3.        Kerugian besar dialami berbagai pihak.
4.        Proses evakuasi berjalan cukup lama karena kendala dan kesulitan yang ditemui dilapangan tidak dapat ditangani segera.  
Dari kaca mata public relations, pada saat masalah yang dihadapi perusahaan telah menjadi perhatian publik atau masyarakat luas, maka masalah ini sudah berada dalam tahap kronis. Krisis dengan tahap kronis memerlukan penanganan yang sangat intens dan dilakukan secara sistematis.
Apa yang telah didapatkan PT Pelindo saat ini sesuai dengan kerja keras yang dilakukan dengan bantuan berbagai pihak. General Manager selaku pimpinan tertinggi yang melakukan aktivitas public relations dalam mengkomunikasikan informasi dan penanganan pihak manajemen kepada seluruh pihak terkait dinilai cukup berhasil. Hal tersebut juga berpengaruh dalam mensosialisasikan keberadaan serta hasil kerja Pelindo kepada masyarakat.

Strategi yang digunakan praktisi public relations dalam merespon krisis menunjukkan bagaimana sikap yang diambil oleh organisasi pada saat krisis sedang berlangsung, sehingga posisi public relations dalam manajemen krisis bisa diibaratkan sebagai ujung tombak. Agar fungsi strategis ini dapat dijalankan dengan baik, posisi bidang Public Relations harus langsung dibawah pimpinan puncak. Menurut Cutlip & Center, dalam bukunya Effective Public Relations mengatakan bahwa idealnya bagian Humas dimasukkan dalam staf inti, langsung berada dibawah pimpinan (decision making) atau top managers, agar lebih mampu menjalankan tugasnya. Dengan posisi tersebut praktisi public relations dapat mengetahui secara langsung latar belakang dari suatu keputusan yang diambil oleh pimpinan lembaga, sehingga langsung mendapat bahan informasi untuk disampaikan kepada publik yang bersangkutan. Dengan demikian public relations mempunyai kewenangan yang memungkinkan fungsi tersebut dapat dijalankan secara efektif. Dalam kaitannya dengan penanganan krisis, public relations memiliki tanggung jawab besar, mengingat dampak negatif dan kerugian besar, bahkan citra organisasi atau perusahaan akan terancam dengan adanya krisis. 
Share:
Location: Banda Aceh, Kota Banda Aceh, Aceh, Indonesia

0 comments:

Post a Comment