Manajemen Krisis PT. Pelindo II (Persero)
Cab.Pontianak
Krisis yang Dihadapi: Kecelakaan Kapal di Alur
Pelayaran Pelabuhan
Sebagai perusahaan yang bergerak
dibidang bisnis pelayanan jasa kepelabuhan, tanggungjawab Pelindo adalah
mengupayakan kegiatan arus kapal barang dan orang yang ada di pelabuhan tidak
terganggu. Kecelakaan kerja merupakan faktor resiko yang mungkin sekali terjadi
ditengah aktivitas yang dijalankan Pelindo, akan tetapi ketika sebuah
kecelakaan yang menghambat operasional perusahaan tidak dapat ditangani dengan
cepat, maka krisis dalam manajemen tidak bisa dihindari lagi. Excellent service dan profesionalisme
merupakan jaminan bagi kelangsungan bisnis perusahaan yang bergerak di sektor
jasa seperti Pelindo. Jika krisis ini terjadi maka perusahaan harus memberikan
perhatian secara penuh dengan memanfaatkan seluruh sumber daya yang ada.
Krisis yang dialami Pelindo terjadi
karena peristiwa tabrakan kapal yang disebabkan human error, tidak adanya komunikasi radio antara 2 kapal tersebut
dan komunikasi antara nakhoda kapal dengan operator pemandu menjadi sebab
kecelakaan. Situasi krisis berlanjut ketika menemui kesulitan dalam mengatasi
evakuasi kapal (KLM) Rahmatia Sentosa yang tenggelam menghalangi alur pelayaran
di pintu masuk pelabuhan Pontianak dalam waktu singkat karena berbagai halangan
dilapangan, kesulitan tersebut menjadi akumulasi permasalahan yang dihadapi
Pelindo. Terkait dengan bisnis hal ini mengakibatkan kerugian dan mengganggu
operasional bisnis secara normal karena menyebabkan gangguan layanan
perusahaan.
Tipe Krisis Pelindo
Tipe krisis berdasarkan waktu yang
terjadi pada PT Pelindo Pontianak adalah krisis yang bersifat segera (immediate crises) yakni terjadi secara
tiba-tiba, tidak terduga dan tidak diharapkan, sehingga kurang persiapan.
Untuk krisis yang bersifat segera tidak
ada waktu untuk melakukan riset dan perencanaan. Krisis jenis ini membutuhkan consensus terlebih dahulu pada level
puncak, disini General Manager Pelindo cepat tanggap untuk mempersiapkan
rencana umum (general plan) mengenai
bagaimana bereaksi agar kejadian ini tidak menimbulkan kebingungan, konflik,
dan penundaan dalam menangani krisis yang muncul.
Krisis yang terjadi secara mendadak karena
kecelakaan tabrakan kapal yang tidak dapat diduga sebelumnya seperti ini
merupakan gangguan didalam bisnis perusahaan Pelindo, terjadi tanpa peringatan
dan telah menghasilkan berita. Kejadian ini menarik perhatian media massa
karena dampak kerugian meluas yang dialami oleh pelanggan, pemerintah daerah,
masyarakat luas, negara, bahkan pendapatan dan reputasi Pelindo sendiri
dipertaruhkan. Penggolongan tipe krisis dibentuk untuk memastikan konsistensi
penilaian tentang segala situasi krisis yang terjadi tiba-tiba sehingga bisa
dihadapi dengan tingkat respon komunikasi yang baik.
Tahapan Krisis Pelindo
1.
Tahap Prodromal
Pada awal krisis kecelakaan kapal di
alur pelayaran pelabuhan Pontianak, Pelindo masih belum dapat mengidentifikasi
sinyal-sinyal akan terjadinya kecelakaan tabrakan kapal di alur muara. Semua
itu terjadi karena memang kejadian kecelakaan yang tiba-tiba terjadi pada
tengah malam dan tidak diperkirakan sebelumnya. Kejadian karamnya kapal atau
hanyutnya kapal-kapal sejenis Kapal Layar Motor (KLM) yang terbuat dari bahan
kayu memang sudah biasa terjadi. Tetapi tidak pernah sampai mengganggu
aktivitas pelabuhan secara keseluruhan. Karena model pelabuhan Pontianak ialah
pelabuhan rakyat, jadi banyak kapal-kapal kayu yang masih digunakan karena
lebih murah, dan karena tipe pelabuhan sungai yang alurnya melalui muara
sungai, maka kondisi alam sangat berpengaruh baik mengenai pasang surutnya air
dan lumpur yang menutupi alur pelayaran yang membutuhkan perhatian untuk selalu
dikeruk agar lebih luas dan dalam sehingga dapat dilalui kapal-kapal besar.
Melalui pos pandu Pelindo yang mengetahui kejadian kecelakaan pertama kali, KLM
Rahmatia Sentosa bertabrakan dengan Kapal Motor (KM) Wewah dan karam ditengah
muara Jungkat, saat itu juga Pelindo melaporkan kepada Adpel sebagai pemilik
otoritas pelayaran. Kedua institusi ini langsung berkoordinasi dan masih
menganggap bahwa evakuasi dapat dilakukan dengan cepat dengan target dalam
empat hari kapal yang tenggelam akan dapat digeser sehingga alur pelayaran pun
akan bebas hambatan. Ketidaktelitian Pelindo dan Adpel sangat jelas terlihat
ketika menganggap evakuasi tidak akan sulit dilakukan karena kapal Rahmatia
Sentosa yang hanya terbuat dari kayu akan mudah digeser.
2.
Tahap Akut
Pada tahap ini kasus kecelakaan kapal di
alur pelayaran mencuat di media massa
dan dikaitkan dengan langkanya BBM di seluruh wilayah Kalimantan Barat, hal
tersebut dikarenakan kapal tanker Pertamina tidak bisa melewati alur yang
terhalang KLM Rahmatia Sentosa yang karam dan akhirnya tidak dapat menyalurkan
pasokan BBM untuk daerah KalBar. Krisis BBM berlangsung cukup lama akhirnya
mengindikasikan kurang tanggapnya evakuasi terhadap kapal yang karam ditengah
alur muara tepat dipintu masuk alur pelayaran pelabuhan. Pelindo dan Adpel sebagai institusi yang
mengurusi pelaksanaan dan menjamin kelancaran aktivitas pelabuhan menjadi
sorotan media dan masyarakt luas pada umumnya. Kelangkaan BBM sangat
mempengaruhi kegiatan masyarakat seharihari, kerugian diberbagai aspek
kehidupan masyarakat pun tak dapat dielakkan. Ketidaksigapan Pelindo dan Adpel
pada upaya menyelesaikan evakuasi menimbulkan dampak efek domino bagi wilayah
Kalbar. Krisis yang terjadi semakin memburuk ketika evakuasi tidak berjalan
lancar dan melebihi target empat hari penyelesaian. Banyak ditemui kesulitan
dalam evakuasi yang tidak diduga sebelumnya yakni muatan KLM Rahmatia Sentosa
yang terdiri dari 14 ribu zak semen sudah membatu karena tercampur air. Hal tersebut menyimpulkan ada kelemahan dalam
kurang tepatnya pengambilan keputusan dalam segi teknis evakuasi. Keadaan yang
berlarut-larut pun menjadi bukti kurangnya upaya dalam mengandalkan seluruh
sumber daya yang ada untuk menyelesaikan proses evakuasi dengan cepat sehingga
menimbulkan kerugian diberbagai pihak.
3.
Tahap Kronis
Pada saat krisis Pelindo tahap ini
ditandai dengan kesulitan yang terus ditemui selama proses evakuasi. Selain
kesulitan yang ditemui dilapangan karena kondisi kapal yang tenggelam kesulitan
juga terdapat dalam segi teknis tenaga ahli, alat yang tersedia, bahkan
menyangkut biaya yang diperlukan. Dampak akibat kejadian ini pun meluas pada
berbagai aspek ekonomi secara keseluruhan di Kalimantan Barat. Kondisi ini
menjadi perhatian banyak kalangan dan pemerintah daerah ikut melakukan
intervensi pada masalah yang ada. Institusiinstitusi yang berkaitan dan
berpengaruh pada aktivitas pelabuhan dilibatkan untuk berkoordinasi mencari
jalan keluar dan mengatasi masalah-masalah yang muncul belakangan akibat proses
evakuasi kapal yang belum terselesaikan.
4.
Tahap Resolusi
Tahap resolusi disebut juga tahap
penyembuhan, dimana setelah evakuasi kapal berhasil dilakukan dan krisis mulai
berlalu Pelindo mempersiapkan strategi awal yang baik sehingga kejadian serupa
tidak terjadi lagi dimasa mendatang. Pada tahap pasca krisis ini Pelindo juga
mempersiapkan langkah-langkah
antisipasi
mencegah krisis serupa terjadi yaitu:
•
Memperketat pengawasan
keluar masuknya kapal di alur pelayaran pelabuhan Pontianak, khususnya di area
muara sungai Kapuas yang memiliki alur sempit.
•
Perlunya
kebersamaan dalam menggunakan alur dengan menghimbau pengguna alur untuk tertib
di dalam berlalu lintas di perairan dan bekerjasama dengan Adpel selaku pemilik
otoritas alur pelayaran untuk berlaku tegas dalam memberi sanksi hukum bagi
nakhoda yang lalai hingga menyebabkan kecelakaan.
•
Terkait proses
hukum kedua nakhoda kapal, Pelindo membantu Adpel dalam melakukan BAP (Berkas
Acara Pemeriksaan) dan akan dinaikkan ke Mahkamah Pelayaran (MP).
•
Pelindo dalam
proses memasukkan kapal ke pelabuhan tetap mengutamakan safety (keamanan). Pemilik kapal harus mengikuti ketentuan masuk
dan menjaga alur seaman mungkin agar proses keluar masuk kapal tertib dan
selamat. Adpel Pontianak akan meningkatkan pengawasan terhadap keluar masuknya
kapal motor.
•
Pelindo meminta
pemerintah daerah (Adpel selaku otoritas alur) melakukan upaya pengerukan 1
juta meter kubik sehingga kedalaman alur Muara Jungkat lebih terjamin. Pada
tahun 2010 pengerukan sudah dilakukan PT Pelindo dengan dana Pelindo sebesar
Rp.27 miliar sebagai wujud kepedulian Pelindo terhadap pemerintah daerah.
Kronologis Kejadian Kecelakaan dan Proses Evakuasi
Kecelakaan dialami oleh Kapal Layar
Motor (KLM) Rahmatia Sentosa, kronologi kejadian yakni KLM Rahmatia Sentosa
yang terbuat dari bahan kayu berusaha masuk alur sungai Kapuas atau tepatnya di
Muara Jungkat. Saat bersamaan KM Waweh kapal kargo dari bahan besi berangkat
dari Pelabuhan Dwikora juga menggunakan alur itu sehingga terjadilah tabrakan
antarkedua kapal tersebut. Lokasi kecelakaan merupakan pintu masuk ke
pelabuhan, lokasinya berjarak 15 kilometer dari pusat Kota Pontianak. Setiap
kapal yang akan merapat di dermaga pelabuhan, harus melintasi Muara Jungkat.
KLM Rahmatia Sentosa yang tengelam mengangkut sekitar 700 ton semen, atau
setara sekitar 14 ribu zak semen. Satu zak semen yang sebelumnya berukuran 50
kilogram, karena tercampur air sudah membatu dan beratnya menjadi 72 kilogram.
Hal inilah yang menyebabkan sulitnya proses evakuasi dengan cepat, karena badan
kapal yang memuat beban semakin berat sulit untuk digeser. Akibatnya kegiatan
lalu lintas laut melalui jalur pelayaran Pontianak lumpuh total. Badan kapal
tersebut tenggelam menutupi jalur pelayaran, sehingga kapal-kapal yang keluar
masuk tidak bisa berlayar. Sekitar puluhan kapal-kapal yang akan masuk ke
Pontianak melalui alur pelayaran tersebut, terpaksa berlabuh di tengah laut di
kawasan Buih Sepuluh Muara Jungkat Pontianak.
Terkait penyebab peristiwa tabrakan KLM
Rahmatia dengan KM Wewah, adalah human
error yang disebabkan tidak adanya komunikasi radio antara 2 kapal dan
komunikasi antara kapal dengan operator pemandu. Kapal yang mengalami
kecelakaan ini tidak wajib pandu, karena berdasarkan ukuran kapal, jika kurang
dari 500 GT (gross ton) maka kapal
tidak wajib menggunakan pandu. Meskipun demikian, seharusnya kapal melapor pada
stasiun pandu di Jungkat, tetapi kedua kapal tidak melapor pada stasiun pandu
sehingga tidak ada komunikasi. Setiap kapal memiliki hak untuk mengajukan
permohonan pelayanan kapal dan barang (PPKB) kepada Pelindo. Sedangkan
berkaitan tindaklanjut berkaitan
peristiwa tabrakan, Adpel (Administrator Pelabuhan) yang memiliki kewenangan
otoritas alur yang bertindak membuat berita acara pemeriksaan pendahuluan dan
melakukan penyelidikan. Terkait proses hukum kedua nakhoda kapal BAP (Berkas
Acara Pemeriksaan) dinaikkan ke Mahkamah Pelayaran (MP).
Proses evakuasi kapal yang tenggelam
memakan waktu yang cukup lama yakni tiga minggu sejak 10 Febuari hingga 5 Maret
2011. Meskipun sudah melibatkan berbagai pihak yang ikut berpartisipasi dan
berkoordinasi dalam proses evakuasi namun banyak kendala di lapangan yang
menyebabkan hal ini tidak bisa tertangani dengan cepat. Pihak yang berkordinasi
dan menjadi satu tim dalam penanganan proses evakuasi diantaranya Pelindo,
Administrator Pelabuhan
Pontianak (Adpel), Kantor Administrasi Pelayaran,
KPLP, Kementrian Perhubungan RI, serta TNI-AL Pontianak. Beberapa kali upaya
evakuasi dilakukan namun selalu gagal, kendalanya antara lain medan yang cukup
berat, seperti arus deras, badan kapal yang tertutup lumpur setinggi tiga meter
dan semen yang telah membatu dan menyatu sehingga sulit diangkat. Selain itu
tidak adanya tenaga ahli yang bisa mengoperasikan alat pengapungan balonisasi,
sehingga perlu mendatangkan tenaga dari Batam dan Jakarta, sedangkan proses
negosiasi berjalan cukup lama karena menyangkut biaya yang sangat besar.
Akibat Krisis
Dampak dari tenggelamnya kapal, negara
mengalami kerugian yang signifikan, karena alur perairan yang masuk maupun
keluar menuju Pelabuhan Dwikora Pontianak mengalami kendala. Dengan masalah
evakuasi kapal yang terjadi berlarut-larut, maka berpengaruh terhadap
pencapaian pendapatan negara melalui Ditjen Bea Cukai Kalimantan Barat. Kantor
Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kalimantan Bagian Barat mengeluarkan
data Bea masuk yang didapat negara melalui Pelabuhan Dwikora Pontianak hanya
Rp1.310.657.000 pada Februari 2011. Jumlah ini sangat jauh menurun bila
dibanding bea masuk pada Januari 2011, yang mencapai Rp3.307.343.000. Sedangkan bea keluar pada Januari 2011
tercatat Rp5.844.463.833 dan Bea keluar hingga 27 Februari 2011, tidak
mengalami pemasukan sama sekali alias nol. Jika alur pelayaran diatasi dengan
segera, ekspor-impor melalui Pelabuhan Dwikora Pontianak kembali bisa lancar.
Dengan demikian, target bea masuk dan bea keluar juga menjadi lancar (Pontianak
Post 1 Maret 2011).
Kecelakaan kapal dan lamanya proses
evakuasi yang diungkapkan media sebagai krisis dan penyebab kerugian meluas di
aspek masyarakat Kalbar sudah membawa dampak signifikan juga bagi Pelindo, bukan hanya berdampak pada
citra Pelindo sendiri tetapi juga citra manajemen yang dijalankan selama ini
karena di duga pelayanan pemanduan kapal dan pengawasan terhadap kapal kurang
ketat. Diperparah lagi dengan pemberitaan media yang mengatakan
Bukan hanya itu saja, tragisnya krisis
yang disebabkan lambatnya proses evakuasi kapal Rahmatia Sentosa di alur Muara
Jungkat tersebut menyebabkan wilayah Kalimantan Barat mengalami krisis pasokan
BBM. Distribusi Bahan Bakar Minyak (BBM) dan pasokan sembilan bahan pokok
(Sembako) jadi tersendat karena kapal pengangkut dan kapal tanker Pertamina
yang tidak dapat merapat di dermaga pelabuhan. Harga kebutuhan pokok naik,
antrian BBM panjang dengan harga di tingkat eceran mencapai Rp. 15.000 hingga
Rp. 20.000 per liter, kebutuhan barang pokok yang dikirim dari berbagai daerah
di luar Kalbar tidak bisa masuk bahkan banyak yang membusuk di kapal. Puluhan
kapal tidak bisa merapat ke pelabuhan dan efek domino dari keadaan ini terus
meluas, seperti terhambatnya arus barang, orang dan jasa menuju Pelabuhan
“Dwikora” Pontianak. Selain BBM langka
dan aktivitas pelabuhan Dwikora Pontianak lengang, pendistribusian kebutuhan
sembako ke seluruh pelosok daerah Kalbar pun tersendat. Pengusaha ekspedisi
jasa angkutan takut mendistribusikan sembako menuju kabupaten/kota di Kalbar
karena khawatir soal bahan bakar. Keterlambatan distribusi bahan bakar
menimbulkan dampak inflasi. Harga barang kebutuhan pokok
mengalami kenaikan karena menipisnya stok akibat pendistribusian yang terhambat.
Tidak hanya pengusaha yang mengalami kerugian, banyak sopir yang menganggur,
dan buruh pelabuhan ikut merasakan dampaknya secara langsung. Mereka jadi pengangguran jika di pelabuhan sepi bongkar muat.
Melihat fenomena tersebut yang paling
dirugikan adalah masyarakat luas sehingga insiden kecelakaan ini menjadi magnet
bagi media karena dampak luas yang menyertainya. Kecelakaan ini mendapat
liputan luas oleh pers dan umumnya cendrung memojokkan Pelindo. Opini yang
berkembang di masyarakat, Pelindo terlalu lama menangani kecelakaan ini dan
tidak memiliki antisipasi atas insiden tabrakan kapal, mestinya dapat dicegah
melalui pengawasan secara ketat keluar masuknya kapal dengan melakukan
pemanduan. Liputan berita Sinar Pagi News tanggal 27 Febuari 2011 dengan
reporter Gunawan Wibisono mengatakan:
persoalan di alur muara bukan kali pertama terjadi. Pelindo sebagai
pelaksana tehnis, serta peng-akomodir tenaga pemanduan harus lebih proaktif,
misalnya diajukan atau tidak diajukan kapal-kapal yang melintas Alur Muara
Jungkat harus di kawal, jangan hanya kapal-kapal besar dan bonafit saja yang di
pandu.
Menurut salah seorang pengusaha expedisi
angkutan bongkar muat pelabuhan, Riyanto, kejadian ini sangat merugikan dan
menghambat aktivitas niaga kepelabuhan. Pelindo tetap mengusahakan proses
keluar masuk kapal dari alur ke dermaga, walaupun barang-barang diangkut dengan
cara estapet atau kapal dari arah asal muatannya dikurangi, tetapi semua itu
tetap saja menghambat perputaran ekonomi khususnya di Pontianak. Seperti
pernyataan beliau:
Harapan Bapak Riyanto adalah seharusnya Adpel lebih professional dan
teliti dalam mengantisipasi hal-hal seperti ini, Pelindo juga harus lebih
transparan, karena selama ini tidak ada informasi yang jelas tentang pengerukan alur maupun dana tastis guna antisipasi
musibah seperti kasus tabrakan kapal Rahmatia Sentosa.
Strategi Manajemen Krisis Pelindo Pontianak
Krisis akibat tenggelamnya kapal di alur
pelayaran pelabuhan Pontianak memiliki dampak tiba-tiba bagi Pelindo secara
khusus maupun wilayah Kalimantan Barat secara keseluruhan, dan menyebabkan
situasi memburuk secara signifikan. Yakni lumpuhnya aktivitas pelabuhan dan
tersendatnya perekonomian wilayah Kalimantan Barat. Situasi yang berlarut-larut
karena sulitnya proses evakuasi yang dilakukan dapat menghancurkan reputasi dan
kepercayaan publik terhadap Pelindo serta dapat mengganggu aktivitas bisnis dan
pendapatan perusahaan. Maka dari itu Pelindo memiliki strategi dalam menangani
krisis tersebut. Krisis telah menjadi bagian dari dinamika yang membutuhkan
pengelolaan yang tepat dan akan menjadi peluang jika perusahaan memiliki
strategi
yang tepat.
Walaupun sebuah krisis dapat menjadi
peluang atau titik balik bagi semakin baiknya sebuah keadaan, tampaknya hampir
tidak ada pimpinan organisasi yang mengharapkan situasi demikian untuk
memperbaiki keadaan. Atau paling tidak organisasi tidak ingin mengalami suatu
krisis. Karena harapan yang demikian, justru akan melupakan bahwa krisis dapat
saja terjadi pada perusahaan, sehingga banyak pengelola perusahaan yang tidak
menyadari pentingnya suatu perencanaan khusus untuk menghadapi dan menangani
krisis yang mungkin muncul.
PT. Pelindo II (Persero) Pontianak tidak
memiliki manajemen krisis secara khusus, akan tetapi ketika menghadapi
persoalan tenggelamnya kapal di alur pelayaran pelabuhan pada bulan Febuari
2011, Pelindo menyadari bahwa untuk mengatasi krisis manajemen perlu melakukan
tindakan, strategi penanganan masalah di lapangan, dan strategi untuk
menghadapi pertanyaan publik termasuk pemerintah dan media untuk meminimalkan
dampak krisis. Semua itu sudah termasuk didalam strategi manajemen krisis
Pelindo.
Upaya Pencegahan Krisis Dengan Manajemen Resiko
Pelindo menyadari kemungkinan menghadapi kejadian yang
tidak terduga sebelumnya karena setiap perusahaan bisa menghadapi masa depan
yang bisa berubah arah dan tidak bisa diduga (uncertainty condition). Untuk itu peramalan akan resiko kejadian
tidak terduga atau yang dapat berkembang menjadi krisis perlu dilakukan pada
situasi pra-krisis. Kemungkinan krisis dalam kegiatan organisasi dapat
dilakukan identifikasi melalui manajemen resiko sehingga dapat dikenali resiko
yang berpotensial menjadi masalah dalam krisis. Dalam manajemen Pelindo
terdapat manajemen resiko yang dibawahi langsung oleh Assisten General Manager.
Ini mengidentifikasikan bahwa manajemen Pelindo memandang penting dalam
mengelola faktor resiko agar kelangsungan perusahaan dapat diperkirakan.
Manajemen krisis bertujuan untuk menekan
faktor-faktor resiko dan faktor ketidakpastian seminimal mungkin. Pelindo
menghadapi uncertainly condition atau
kondisi yang tidak diduga sebelumnya karena tipe krisis yang muncul adalah sudden crises (tiba-tiba) atau yang
bersifat segera (immediate crises)
yang disebabkan human error dan
kecelakaan kapal yang menyebabkan gangguan layanan hingga permasalahan evakuasi
yang mengganggu operasional bisnis secara normal.
Manajemen krisis memang berbeda dengan
manajemen resiko. Akan tetapi jika mengelola resiko dengan baik, hal-hal yang berpotensi menjadi krisis dapat direspon
dengan perencanaan yang baik. Manajemen resiko adalah proses pengukuran atau
penilaian resiko serta pengembangan strategi pengelolaannya. Strategi yang
dapat diambil antara lain adalah memindahkan resiko kepada pihak lain,
menghindari resiko, mengurangi efek negatif resiko, dan menampung sebagian atau
semua konsekuensi resiko tertentu. Seperti keterangan yang diberikan oleh Bpk.
Tonny selaku Assisten General Manager Pelindo:
Manajemen dapat menanggulangi krisis dengan melakukan peramalan krisis
(forcasting), manajemen krisis
bertujuan untuk menekan faktor-faktor resiko dan faktor ketidakpastian
seminimal mungkin. Setiap perusahaan menghadapi masa depan yang selalu berubah
dan arah perubahannya tidak bisa diduga. Esensi manajemen krisis adalah upaya
untuk menekan faktor ketidakpastian dan faktor resiko hingga tingkat yang
paling rendah. Manajemen krisis diawali dengan mengumpulkan informasi sebanyak
mungkin mengenai faktor-faktor yang berpotensi mengakibatkan krisis pada
perusahaan. Jika hal tersebut diketahui maka pengambilan keputusan mengenai
langkah-langkah yang harus diambil dapat disiapkan sebelum krisis terjadi.
Langkah-langkah pencegahan sebaiknya
diterapkan pada situasi pra krisis, untuk mencegah kemungkinan terjadinya
krisis dan manajemen dapat mengupayakan agar krisis tidak menimbulkan kerugian
yang besar. Terkait dengan kecelakaan di alur Mura Jungkat, manajemen Pelindo
sudah memiliki monitoring resiko dalam sistem manajemen keselamatan kerja. Objek
aktivitas bagi Pelindo disini adalah dalam jalur bisnis pemanduan, dalam
kegiatan penanganan sudah berusaha menghindari kecelakaan dengan menempatkan
operator pada stasiun pandu yang berfungsi mengawasi dan menjaga komunikasi
jarak laut.
Meskipun potensi kecelakaan berusaha untuk dihindari
namun tetap saja bisa terjadi karena human
error atau ketidaktertiban pengguna alur lalu lintas pelayaran. Langkah
pencegahan krisis ini dilakukan Pelindo karena manajemen Pelindo tidak ingin
mengabaikan peluang untuk mengidentifikasikan potensi resiko. Ini perlu
dilakukan manajemen untuk memastikan apakah perusahaan berjalan dengan baik
atau sebaliknya.
Upaya Penanggulangan Krisis
Salah satu karakter krisis adalah adanya
keterkejutan. Tekanan yang kuat saat penyelesaian krisis adalah bagian dari
manajemen krisis. Untuk menyelesaikan krisis tersebut, manajemen Pelindo
merespon dengan melakukan intervensi krisis. Langkah intervensi dalam situasi
krisis bertujuan untuk mengakhiri krisis. Pelindo merasa harus turun tangan
mengelola krisis karena kejadian ini sangat berpotensi mengganggu jalannya
kegiatan operasional perusahaan. Pelindo menentukan langkah-langkah pengelolaan
krisis sebagai berikut:
a. Identifikasi Krisis
Identifikasi terhadap krisis perlu
dilakukan untuk melakukan perencanaan atau implementasi tindakan tepat yang
perlu dilakukan oleh manajemen. Pihak manajemen berusaha menganalisis situasi,
berusaha untuk mampu memprediksikan kemungkinan buruk yang akan terjadi
selanjutnya, dan merumuskan metode pemecahan masalah atau solusi yang efektif
dan efisien.
Krisis terjadi karena permasalahan setelah kecelakaan
tabrakan kapal yang menyebabkan salah satu kapal tenggelam dan sulit dievakuasi
karena kondisi kapal dan alam serta terbatasnya tenaga ahli, alat, dan biaya
yang dimiliki membuat usaha Pelindo untuk menyelesaikan krisis dengan cepat
menjadi
tersendat.
b.
Pilihan Strategi
Pilihan strategi adalah upaya yang dilakukan Pelindo
untuk mengelola krisis akibat kecelakaan kapal di alur pelayaran pelabuhan.
Akibat kejadian tersebut terjadi perubahan dalam lingkungan bisnis Pelindo yang
menyebabkan kelangsungan operasional perusahaan menjadi terganggu. Sehingga
Pelindo memiliki rencana dalam penetapan strategi menghadapi krisis untuk
menghindari keputusan yang justru akan membuat perusahaan terperosok lebih jauh
dalam krisis. Pelindo melakukan penetapan strategi generik yakni Adaptive Strategi, langkah-langkah yang
diambil mencakup hal-hal yang lebih luas, seperti:
1.Modifikasi operasional:
Pelindo memiliki tanggungjawab untuk melayani
pelanggan dan menjamin kelancaran aktivitas pelabuhan, terkait dengan bisnis
yang dijalankan Pelindo adalah pelayanan jasa untuk fasilitas dan kebutuhan
kapal pembawa barang maupun penumpang menuju atau keluar pelabuhan Dwikora
Pontianak. Karena hambatan di alur pelayaran akibat proses evakuasi kapal
tenggelam yang belum selesai, maka kegiatan operasional menjadi tidak normal,
Pelindo melakukan halhal berikut untuk mengupayakan pelabuhan tidak dalam
kondisi lumpuh total:
•
Pelindo
mengupayakan aktivitas bongkar muat kapal tetap berjalan meski dilakukan
ditengah muara, dengan proses pemindahan dari kapal ke kapal agar arus barang
ke pelabuhan tidak tersendat.
•
Meminta
Kepolisian Air Pontianak untuk menjaga dan mengamankan aktivitas bongkar muat
tersbut agar tidak ada oknum yang memanfaatkan
situasi ini.
•
Pelindo
mengupayakan aktivitas perusahaan terus berjalan, mengoperasikan kapal-kapal
pemandu agar dapat mengelola kapal-kapal yang tetap bisa masuk, kapal dengan
kedalaman lambung (draf maksimal)
4 meter
dilayani untuk melewati alur yang terhalang KLM Rahmatia Sentosa yang karam
sehingga bahan bakar minyak dan sembako bisa masuk.
•
Pelindo menjamin
kelancaran arus barang, dengan menyediakan tongkang yang dipergunakan untuk
bongkar muat barang hingga berat kapal yang akan masuk ke pelabuhan tidak lebih
draf 4 meter.
•
Terhadap kapal
besar yang tidak memungkinkan, Pelindo mempergunakan tongkang yang akan
bongkar-muat, dan jika kapal tidak memiliki trem maka disiapkan mobil crane.
•
Pelindo membuat
surat edaran terkait prasyarat kapal yang dapat melintas alur untuk sementara
dan diinformasikan ke perusahaan-perusahaan pengguna jasa pelabuhan Pontianak.
Sehingga pihak perusahaan dapat mengantisipasi agar kapal yang hendak memasuki
pelabuhan Pontianak memiliki muatan tidak lebih dari 4 meter.
2.Kompromi:
Manajemen Pelindo tidak hanya melibatkan internal
perusahaan tetapi juga pihak lain yang berkaitan dan bisa memberikan peran yang
membantu untuk menyelesaikan krisis. Pihak-pihak yang terlibat ini bisa
dimanfaatkan kapasitasnya untuk menghasilkan expertise judgement, opinion
leader statement, ataupun juru runding permasalahan yang ada dan sudah
menyangkut kepentingan banyak pihak. Pihak yang dipilih adalah pihak instansi
yang memiliki kapabilitas dan dapat dipercaya baik oleh manajemen Pelindo
ataupun publik atau masyarakat luas. Keterlibatan pihak-pihak tersebut antara
lain dalam bentuk kegiatan:
•
Setelah sepekan
evakuasi ternyata tidak dapat diatasi oleh Adpel dan Pelindo, maka kedua
institusi ini berkompromi dengan melibatkan pihak luar yang terkait dan dapat
membantu permasalahan yang ada. Dengan adanya koordinasi pembagian tugas
semakin jelas, seperti misalnya TNI AL dan Polisi Air Pontianak mengamankan
lokasi kejadian, Adpel berupaya dalam evakuasi, dan Pelindo mengelola arus
kapal yang dapat dilayani masuk ke Pelabuhan.
•
Mengajak
pihak-pihak terkait ke lokasi tempat kejadian dengan menyediakan sarana dan
prasarana. Dengan kegiatan ini diharapkan adanya bantuan dan dukungan dari
pihak-pihak terkait. Dalam kunjungan tersebut terdiri dari wartawan berbagai media
lokal dan nasional, Wakil Wali Kota Pontianak, KPLP, Adpel, anggota DPRD, dll
(ada sekitar 40 orang yang ikut serta dalam kunjungan pemantauan tersebut).
•
Selain itu sering
diadakan diskusi dan rapat koordinasi untuk mencari solusi, salah satunya dilakukan
di kantor Pontianak Post: dalam pertemuan
ini
beberapa pihak sepakat untuk membentuk “Tim Pemantau Penanggulangan Evakuasi
Kapal Rahmatia Sentosa”, tujuannya agar pihak-pihak terkait khususnya Dinas
Perhubungan, Adpel, Pelindo, dan Pemerintah Daerah termotivasi untuk bekerja
dengan baik mengatasi permasalahan tersebut.
•
Adpel dan Pelindo
rutin melaporkan dan meminta dukungan dari pemerintah untuk memberi perhatian
khusus pada kejadian ini. Salah satunya dalam acara “coffe morning” di Kantor Gubernur Kalbar, Pelindo bersama Adpel
melaporkan kepada Gubernur Kalbar Cornelis, upaya yang sudah dilakukan dan
kendala dilapangan dalam penanganan evakuasi kapal tersebut.
3.Meluruskan citra:
Manajemen Pelindo merasa perlu
memastikan bagaimana citra perusahaan diposisikan di hadapan publik berkaitan
dengan peristiwa yang mengakibatkan hambatan operasional di pelabuhan. Maka
untuk mendapatkan citra yang baik manajemen perlu memberi informasi mengenai
realitas yang terjadi. Dengan adanya insiden tabrakan kapal dan lamanya proses
evakuasi kapal tersebut, terbentuk opini di masyarakat kalau Pelindo tidak
professional dan kurang baik dalam aktivitas pelayanan pemanduan kapal. Untuk
menanggapi hal tersebut jumpa pers dilakukan beberapa kali dihadapan media
bersama Adpel bertujuan memberikan informasi penyebab kecelakaan dan penanganan
yang akan diambil serta upaya yang telah dilakukan Pelindo agar arus barang
tidak terganggu. Menginformasikan kendala yang dihadapi Adpel sehingga proses
evakuasi berjalan lama, salah satunya kondisi di lapangan, kurangnya biaya, dan
tidak adanya tenaga ahli yang dapat menangani proses evakuasi.
c.
Komunikasi Krisis
Komunikasi krisis adalah komunikasi
antara organisasi dengan publik sebelum, selama, dan setelah kejadian krisis.
Komunikasi ini dirancang melalui program-program untuk meminimalisir kerusakan
terhadap citra perusahaan.
Strategi komunikasi yang dijalankan oleh
Pelindo II Pontianak melalui General Manager yaitu Ingratiation Strategies (Combs 1994) dimana Pelindo berupaya
mencari dukungan publik dengan membentuk pesan berupa pengingatan akan hal-hal
yang sudah diupayakan Pelindo untuk membantu mengatasi permasalahan evakuasi
kapal di alur pelayaran pelabuhan. Terlihat dari beberapa media yang rutin
menginformasikan upaya evakuasi lanjutan dan upaya Pelindo dalam melayani dan
menjamin kelancaran barang dan orang dengan mengelola kapal-kapal yang
dimungkinkan untuk tetap bisa masuk ke Pelabuhan.
Untuk mempertimbangkan publik
organisasi, Pelindo mengambil upaya komunikasi krisis dengan Konferensi
Pers. Strategi ini untuk menanggapi
pihak media dan membantu publik mengetahui lebih jauh keadaan yang terjadi sebenarnya,
Tim penanganan evakuasi kecelakaan yang terdiri dari pihak Adpel dan Pelindo
beberapa kali menggelar konferensi pers dengan materi perkembangan terakhir
evakuasi. General Manager hadir mewakili manajemen Pelindo mendampingi kepala
Adpel beserta Manager Operasional yang bertindak sebagai pembicara. Fungsinya
pada acara itu sebagai pengontrol arus informasi agar tidak terjadi
kesimpang-siuran yang membingungkan wartawan.
Peran Public
Relations dalam Manajemen Krisis Pelindo
Adapun peranan public
relations dalam manajemen Pelindo terlihat pada aktivitas pokok yaitu
melaksanakan penggiat aktivitas public
relations sebagai
Back Up
Manajemen. Dalam struktur organisasi
manajemen Pelindo, Humas dan Pemasaran menjadi satu kesatuan, dibawahi langsung
oleh Manager Pemasaran dan Pelayanan Pelanggan serta Assisten General Manager
sebagai Pengendalian Kinerja & PPSO. Melihat posisi Humas di Pelindo dapat
diidentifikasikan aktivitas Humas lebih banyak berkaitan dengan pemasaran dan
pelayanan pelanggan dalam aktivitas bisnis perusahaan.
Ada dua hal yang menyebabkan hambatan kinerja pada public relations Pelindo sehingga peran
dari public relations sendiri sangat
sedikit dan terbatas, yakni yang pertama karena perusahaan masih belum
menganggap penting fungsi public
relations dalam manajemen, dan yang kedua praktisi public relations Pelindo sendiri tidak dapat menunjukan peran yang
maksimal sebagai public relations.
Pelindo termasuk perusahaan yang tidak memanfaatkan public relations secara efektif, karena posisi serta fungsi dan
peran public relations dalam
manajemen Pelindo adalah dibawah Divisi Pemasaran dan Pelayanan Pelanggan.
Penempatan public relations dalam
posisi ini tentu saja kurang atau tidak punya akses langsung pada pimpinan
perusahaan. Persoalan yang lain dalam manajemen adalah kekurangsadaran bahwa
masalah citra bukanlah tanggung jawab public
relations semata, melainkan tanggung jawab semua individu anggota
perusahaan. Selain itu public relations
Pelindo secara pribadi tidak pula memiliki kecakapan dalam menggerakkan
aktivitas dan peran public relations
secara maksimal. Hal tersebut tercermin pada ketiadaan program perencanaan public relations (PR Planning) atau perencanaan krisis (Crisis Planning).
Public
Relations bisa menjadi pilihan bagi
organisasi ketika krisis terjadi, ketika datang masalah seperti media yang memblow up berita Pelindo di koran lokal
maupun nasional tentang krisis BBM di wilayah Kalbar yang dikaitkan dengan
proses evakuasi kapal yang tidak segera selesai. Public Relations seharusnyahadir dalam organisasi bukan menjadi
suatu kebetulan, tetapi hadir sebagai suatu kebutuhan, Public Relations adalah suatu proses yang dilakukan dengan
perencanaan. Public Relations hadir
sebagai suatu kebutuhan, kebutuhan untuk menjembatani organisasi dengan para
pemangku kepentingan
(stakeholders).
Jembatan yang dibangun public relations
berdiri atas dasar Trust, Honest dan Credibility. Public Relations
ada, karena ada kepercayaan. Artinya masyarakat percaya pada organisasi dan
organisasi percaya pada masyarakat atas dasar saling pengertian dan win-win solution. Public Relations membangun citra dan reputasi organisasi lewat opini public yang menguntungkan (favourable) melalui kaca mata publik
yang memotret aktivitas organisasi di media massa. Lewat citra dan reputasi,
organisasi tetap dapat berdiri kokoh dalam ranah kompetisi merebut pangsa pasar
dan servis dari organisasi.
Dengan adanya situasi krisis, perusahaan
tidak bisa menghindari tekanan dari media. Pemberitaan yang menyudutkan dan
berbagai opini serta asumsi yang tersiar di media massa tidak mudah dielakkan,
apalagi kejadian ini telah mempengaruhi berbagai aspek masyarakat terutama
ekonomi bagi wilayah Kalbar. Melihat hal ini, peran kehumasan sangatlah penting
dalam mengarahkan informasi menuju pengertian dan dukungan publik kepada
perusahaan. Hubungan antara public
relations dengan media adalah sebuah hal yang tidak dapat dipisahkan, pada
satu sisi media dapat menjadi alat bantu yang menunjang berhasil tidaknya
strategi public relations sebuah
perusahaan dijalankan namun dilain sisi media juga dapat menjadi boomerang bagi
perusahaan dan akan mempengaruhi tingkat keberhasilan yang dicapai dari
strategi public relations yang
dijalankan.
General Manager Pelindo Sebagai Penggerak Aktivitas Public Relations di Masa Krisis
Pada saat krisis berlangsung, aktivitas public relations oleh manajemen Pelindo
lebih banyak dilakukan oleh General Manager selaku pimpinan tertinggi di
perusahaan, dengan melihat pertimbangan dibawah ini:
Pimpinan tertinggi Pelindo Bapak
Solikhin selaku General Manager langsung turun tangan pada tahap awal hingga
akhir proses penyelesaian masalah, baik secara internal maupun eksternal
perusahaan. Perhatian dan keseriusan General Manager menangani evakuasi
kecelakaan adalah unsur strategis krisis kehumasan.
Sedangkan untuk internal sendiri, General Manager meminta bagian
pegawai manajemen Pelindo mendapat bagian piket khusus/jadwal penjagaan untuk
memantau dan mengawasi proses evakuasi di tempat kejadian, agar informasi dan
keadaan terbaru didapat manajemen sebagai pertimbangan untuk memikirkan langkah
selanjutnya.
Untuk meluruskan pemberitaan pers,
manajemen mengundang wartawan, memfasilitasi mereka yang ingin ikut serta dalam
perjalanan para manager dan pimpinan yang tengah sibuk mengurus dan memantau
proses evakuasi, dengan menyediakan boat
khusus menuju lokasi kejadian. Kegiatan itu akan menimbulkan kesan bahwa
pimpinan perusahaan tidak memikirkan hal-hal lain, kecuali mencurahkan
perhatian dan energinya untuk mengurusi hal tersebut. Dengan membawa media
melihat langsung dan dekat dengan lokasi kejadian Pelindo merasa tidak perlu banyak bicara, apalagi mengatur
gerak-gerik dan apa yang hendak dilaporkan wartawan. Membiarkan wartawan dengan
bebas melihat hal-hal yang nyata dengan mata mereka. Kebebasan mengobservasi
dan mendapatkan informasi merupakan nilai lebih yang efektif untuk merebut
sikap pemihakan wartawan.
Selain membebaskan wartawan bekerja, selaku General
Manager Pelindo merasa harus dengan tangkas mengumpulkan semua informasi yang
berkaitan dengan perkembangan evakuasi dan situasi-situasi krisis yang
menyertainya guna melayani kebutuhan wartawan akan informasi terbaru.
Beberapa pemberitaan media tentang akibat terjadinya
kecelakaan di alur Muara Jungkat mengindikasikan kurangnya pengawasan dalam
kegiatan
operasional Pelindo dan kondisi alur yang terlalu
sempit untuk lalu lintas kapal sehingga membutuhkan perhatian untuk melakukan
tindakan pembukaan alur baru. Selain itu kurang tanggap atas keadaan darurat mengatasi
kecelakaan dan lambannya proses evakuasi menjadi agenda berita yang terus
menyudutkan Pelindo. Untuk meluruskan pemberitaan tersebut pihak perusahaan
melakukan beberapa strategi penyebaran informasi yang dijalankan langsung oleh
General Manager sebagai spoke person
yakni:
a.
Mengklarifikasi
bahwa pihak yang berwewenang penuh dan memiliki otoritas alur adalah Adpel,
sedangkan Pelindo sebagai pelaksana teknis pelayanan jasa. Jadi dalam upaya
evakuasi lapangan Pelindo sebagai partisipan.
b.
Ikut serta
memberi informasi mengenai hambatan evakuasi dan mempublikasikan hasil setiap
rapat koordinasi dengan pihak-pihak terkait dan upaya yang akan dilakukan
selanjutnya dalam evakuasi kapal tenggelam yang menghambat alur pelayaran
melalui konferensi pers.
c.
Membuka akses
langsung kepada media untuk mendapatkan informasi yang objektif tentang upaya
evakuasi yang tengah dilakukan, serta upaya Pelindo dalam membuka akses
pelayanan kapal yang masih bisa masuk pelabuhan, dan pimpinan General Manager
sebagai spoke person.
d.
Melakukan
tindakan langsung sebagai salah satu bentuk aksi “emergency planning” dan sebagai bentuk tanggungjawab perusahaan
terhadap pengatur pemanduan kapal di alur dan aktivitas pelabuhan. Pelindo
berusaha agar kegiatan pelabuhan tetap berjalan dengan mengupayakan kapal-kapal
dengan draft tidak lebih dari 4 meter untuk dipandu masuk ke pelabuhan agar
arus kapal dan barang tidak terganggu pelaksanaannya.
Sebuah strategi public relations yang dijalankan oleh perusahaan dalam menghadapi
tekanan media yang terkadang menyudutkan perusahaan adalah dengan membuat jalur
informasi menjadi satu jalur saja. Pelindo menerapkan “one gate keeper” bagaimana perusahaan menginformasikan berbagai
berita yang datang dari perkembangan proses evakuasi, disini Pelindo menjaga
segala bentuk manipulasi berita yang digunakan untuk menciptakan asumsi bahwa
perusahaan ikut berpartisipasi penuh dalam penyelesaian kasus tersebut. Perusahaan menjaga objektifitas berbagai
informasi yang dibutuhkan oleh media dengan maksud agar berita yang dibuat
media memang berdasarkan pada bukti yang kuat dan benar adanya sehingga tidak
muncul penyimpangan informasi dalam media, General Manager Pelindo menjalankan
peran public relations sebagai
satu-satuya sumber informasi dimana wartawan mendapatkan berbagai informasi
yang berasal dari tim evakuasi dan apa yang telah diupayakan Pelindo.
Pengambil-alihan peran public relations oleh general manager
Pelindo pada saat krisis dikarenakan Pelindo tidak mempersiapkan praktisi public relations untuk menghadapi
kejadian besar yang tidak terduga atau sebagai problem solving di dalam manajemen perusahaan. Akan tetapi
aktivitas public relations di saat
krisis bisa dilakukan oleh siapa saja yang bisa diandalkan dan memiliki
kredibilitas di dalam manajemen perusahaan sesuai dengan keputusan top management. Ketika perusahaan sedang
mengalami kejadian besar yang berdampak merugikan atau disebut dengan situasi
krisis maka perlu adanya keputusan yang tepat untuk memilih strategi atau
program penanggulangan krisis. Keputusan
tersebut bukanlah keputusan yang mengandalkan intuisi belaka melainkan berdasar
pada keputusan top manajemen dengan dasar pertimbangan dari Public Relations, dimana posisi Public Relations seharusnya berdekatan
atau memiliki akses langsung dengan top manajemen. Dalam situasi krisis Pelindo
keputusan diatas bisa diambil dengan singkat karena pimpinan tertinggi juga
mengemban tugas sebagai public relations.
Sehingga ketika seharusnya public
relations bisa membantu meringankan kesulitan yang dialami pimpinan, hal
tersebut tidak terdapat pada public
relations di dalam manajemen krisis Pelindo. Public
Reltaions seharusnya bisa berperan sebagai mata, telinga dan corong dari
perusahaan, tidak bergerak sendiri melainkan bergerak bersama seluruh komponen
organisasi tersebut, terlebih jika krisis tengah melanda perusahaan. Karena itu
peran public relations yang dewasa
ini lebih ditekankan pada membantu pemecahan masalah di perusahaan bisa menjadi
suatu keharusan. Manajemen Krisis (Crisis
Management) merupakan area keahlian yang harus dimiliki oleh setiap public relations, yang berorientasi
kepada masa depan dan mencoba mengantisipasi kejadian yang dapat mengganggu
hubungan-hubungan penting. Public
Relations memiliki peran penting dalam merencanakan program persiapan
krisis, manajemen krisis itu sendiri pada waktu terjadi krisis dan strategi
setelah krisis selesai ditanggulangi.
Webster mendefinisikan krisis sebagai titik balik (turning point) untuk menuju keadaan
lebih baik atau lebih buruk (turning
point for the better or worse), jadi lebih dari suatu situasi ini mungkin
perusahaan atau organisasi dapat menjadi lebih baik atau lebih buruk. Akan
tetapi krisis akan menjadikan organisasi menjadi lebih baik atau lebih buruk
sangat tergantung pada bagaimana pihak manajemen mempersepsikan dan kemudian
merespon situasi tersebut atau sangat tergantung pada pandangan, sikap atau
tindakan yang diambil terhadap krisis tersebut. Pihak manajemen Pelindo mungkin
belum dapat melihat lingkungan organisasinya juga berpotensial menghasilkan
bencana, maka belum ada perencanaan krisis sebagai bahan dari perencanaan
strategis dan mengalokasikan sumberdaya yang memadai untuk itu.
Pada saat krisis Pelindo II (Persero)
Pontianak dalam hal ini General Manager selalu bersikap transparan kepada semua
wartawan. Sebagai wujud keterbukaan Pelindo, bersama Adpel mengadakan acara konferensi pers beberapa kali selama
masa krisis. Konferensi pers ini
bertujuan untuk memberikan gambaran kepada pers
tentang penyebab terjadinya kecelakaan, penyebab lamanya evakuasi, kendala yang
dihadapi, dan penanganan lanjutan pada nakhoda kapal yang lalai hingga menyebabkan
tabrakan kapal di alur muara. Tidak hanya itu upaya-upaya Pelindo dalam
mengatur arus kapal dan barang untuk masuk ke pelabuhan pun selalu
diinformasikan, menunjukkan bahwa Pelindo peduli dan menjamin kendala-kendala
yang ada di alur muara dapat diupayakan. Hal tersebut dilakukan untuk mencari
celah-celah serta mengcounter opini publik yang terlanjur terbentuk di
masyarakat tetapi tetap memberikan informasi sejelasjelasnya kepada publik
tentang apa yang terjadi dan kondisi sesungguhnya dilapangan. Walaupun Pelindo
hanya memberikan counter pemberitaan,
tetapi pada saat itu Pelindo menunjukkan keseriusan dalam hal penanganan
evakuasi dan menjamin kelancaran arus kapal dan barang untuk wilayah
Kalbar.
Meskipun tidak ada perencanaan manajemen
krisis sebelumnya oleh Pelindo, akan tetapi strategi manajemen krisis yang
dilakukan Pelindo selaras dengan teori yang ada menurut Firsan Nova dan Rhenald
Kasali, yakni dalam upaya pengendalian krisis, perusahaan dapat melakukan
dengan cara peramalan krisis (forcasting)
dan pencegahan krisis, yang terlihat dari peran manajemen resiko Pelindo dalam
menekan kemungkinan kejadian kecelakaan di alur pelayaran. Serta intervensi
krisis atau penanganan terhadap krisis dengan strategi adaptive yakni melakukan tindakan yang berupa modifikasi
operasional untuk melakukan kelancaran kegiatan pelabuhan, kompromi dalam
mencari solusi, dan komunikasi krisis untuk meluruskan citra perusahaan akibat
kejadian krisis.
Pasca krisis yang terjadi Pelindo
membuat langkah-langkah antisipasi mencegah krisis serupa terjadi lagi seperti
memperketat pengawasan keluar masuknya kapal di alur muara sungai Kapuas,
berkerjasama dengan Adpel untuk menjaga alur bersama, dan menghimbau para
pengguna alur untuk tertib dan tidak mengabaikan teknis pelaporan komunikasi
jarak laut di Pos Pemandu.
Krisis ini membawa keterkejutan dan sekaligus
mengancam nilai-nilai penting organisasi serta hanya ada waktu yang singkat
untuk mengambil keputusan. Situasi dialami oleh Pelindo ketika kejadian
kecelakaan terjadi dan tidak dapat diprediksi sebelumnya bahwa proses evakuasi
akan mendapatkan kesulitan dan memakan waktu yang lama.
Tekanan permasalahan ini juga berdampak
pada meningkatnya sorotan terhadap manajemen PT Pelindo Pontianak. Dengan
adanya berbagai permasalahan Pelindo, antara lain masalah alur dan pemanduan
kapal, akan menambah gairah media massa untuk mengungkap kompetensi manajemen
PT Pelindo Pontianak. Keingintahuan media massa tentunya akan mengundang
permasalahan baru lagi dan menambah kompleksitas permasalahan di PT Pelindo
Pontianak. Hubungan dengan pihak media yang belum pernah intens sebelumnya
menjadi faktor membentuk opini dan persepsi negatif di masyarakat terhadap
Pelindo. Apalagi kurangnya pengetahuan dari publik mengenai perusahaan Pelindo
menambah sulitnya meluruskan informasi bahwa Pelindo sebagai penyedia layanan
jasa pelabuhan dan otoritas alur pelayaran ada pada institusi Adpel, sehingga
kepengurusan alur bukan sepenuhnya tanggungjawab dari Pelindo. Dengan adanya
situasi krisis yang berdampak luas pada masyarakat tentu saja informasi ini
tidak akan berpengaruh banyak pada persepsi publik sebelumnya. Namun untuk
menanggulanginya Pelindo telah berupaya dan melaksanakan berbagai kegiatan yang
terkait dengan media ketika permasalahan ini muncul agar mendukung pemulihan
persepsi media dan publiknya.
Melihat perkembangan krisis di PT. Pelindo II
(Persero) Pontianak,
nampaknya
permasalahan sudah mencapai tahap kronis dengan
mempertimbangkan
hal-hal berikut:
1.
Dampaknya meluas
pada kegiatan ekonomi suatu wilayah.
2.
Melibatkan banyak
pihak untuk menyelesaikan permasalahan. Hal ini berarti, insiden ini telah
menjadi perhatian besar media massa, artinya menjadi perhatian masyarakat luas.
3.
Kerugian besar
dialami berbagai pihak.
4.
Proses evakuasi
berjalan cukup lama karena kendala dan kesulitan yang ditemui dilapangan tidak
dapat ditangani segera.
Dari kaca mata public relations, pada saat masalah yang dihadapi perusahaan telah
menjadi perhatian publik atau masyarakat luas, maka masalah ini sudah berada
dalam tahap kronis. Krisis dengan tahap kronis memerlukan penanganan yang
sangat intens dan dilakukan secara sistematis.
Apa yang telah didapatkan PT Pelindo
saat ini sesuai dengan kerja keras yang dilakukan dengan bantuan berbagai
pihak. General Manager selaku pimpinan tertinggi yang melakukan aktivitas public relations dalam mengkomunikasikan
informasi dan penanganan pihak manajemen kepada seluruh pihak terkait dinilai
cukup berhasil. Hal tersebut juga berpengaruh dalam mensosialisasikan
keberadaan serta hasil kerja Pelindo kepada masyarakat.
Strategi yang digunakan praktisi public relations dalam merespon krisis
menunjukkan bagaimana sikap yang diambil oleh organisasi pada saat krisis
sedang berlangsung, sehingga posisi public
relations dalam manajemen krisis bisa diibaratkan sebagai ujung tombak.
Agar fungsi strategis ini dapat dijalankan dengan baik, posisi bidang Public Relations harus langsung dibawah
pimpinan puncak. Menurut Cutlip & Center, dalam bukunya Effective Public Relations mengatakan
bahwa idealnya bagian Humas dimasukkan dalam staf inti, langsung berada dibawah
pimpinan (decision making) atau top managers, agar lebih mampu
menjalankan tugasnya. Dengan posisi tersebut praktisi public relations dapat mengetahui secara langsung latar belakang
dari suatu keputusan yang diambil oleh pimpinan lembaga, sehingga langsung
mendapat bahan informasi untuk disampaikan kepada publik yang bersangkutan.
Dengan demikian public relations
mempunyai kewenangan yang memungkinkan fungsi tersebut dapat dijalankan secara
efektif. Dalam kaitannya dengan penanganan krisis, public relations memiliki tanggung jawab besar, mengingat dampak
negatif dan kerugian besar, bahkan citra organisasi atau perusahaan akan
terancam dengan adanya krisis.
0 comments:
Post a Comment