BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Dalam khazanah peradaban Islam persoalan bahasa dan logika muncul ketika terjadi perdebatan tentang kata dan makna antara Abu sa’id al-Syirafi (893-950 M) dengan Abu Bisyr Matta (870-940 M). menurut sl-Syirafi yang ahli bahasa, kata muncul lebih dahulu daripada makna, dan setiap bahasa lebih merupakan cerminan dari budaya masyarakat masing-masing. Sebaliknya, menurut Abu Bisyr Matta, makna ada lebih dahulu disbanding kata, begitu pula logika muncul lebih dahulu daripada bahasa. Makna dan logiika inilah yang menentukan kata dan bahasa, bukan sebaliknya.
Dalam kehidupan sehari-hari,
manusia dapat berinteraksi secara aktif dan melakukan transformasi dengan
sesamanya tak lain karena ia memiliki akal untuk berfikir. Al-Qur’an yang
merupakan sumber autentik dan absolut, yang tak diragukan lagi kebenaranya
sangat menghargai peranan akal ini. Bahkan, pertanyaan yang berupa seruan
“untuk selalu berfikir” bagi seseorang sangat banyak sekali dijumpai dalam berbagai
ayat, di antaranya : Al-Baqarah: 44, 76, Ali Imran: 65, Al-An’am: 32, Al-A’raf:
169, Hud: 51, Yusuf: 109, Al-Anbiya’: 67, Al-Mukminun: 80, Al-Qashash: 60,
Shaffat: 138 (Lihat. Fathurrahman, pada sub kalimat “afalaa ta’qilun”).
Akal merupakan suatu sarana super
canggih, dikaruniai Tuhan kepada manusia, tidak kepada makhluk lainnya. Dengan
akal manusia dapat mengetahui sesuatu yang belum diketahuinya. Atau memahami
lebih mendalam lagi sesuatu yang telah diketahuinya, baik tentang dirinya
maupun hakikat alam dan rahasia yang terkandung di dalamnya. Manusia karena
akalnya menjadi makhluk unik yang senantiasa terdorong untuk berfikir sepanjang
hayatnya sesuai dengan kemampuan befikir yang dimilikinya.
Ketika manusia itu masih diberi
kehidupan, dan hidup dalam keadaan normal, selama itu pula aktivitas berfikir
tidak akan terlepas darinya. Manusia termasuk anda selalu berambisi untuk
mencari kebenaran dengan jalan berpikir. Pada saat itulah ilmu logika berperan
penting dalam mencari suatu kebenaran.
Rene Descartes, seorang tokoh rasionalisme berkata: “Aku berfikir, karena itu aku ada”. Bahkan dalam teori pensyariatan hukun Islam, teori logika — yang jelas menggunakan nalar—, sama sekali tak dapat “melepaskan diri” dari apa yang kita sebut sebagai logika tadi. Begitu pula ahlu al-ra’yu (logika/mantiq) dan ahlu al-qiyas (analogi) memandang syariat itu sebagai pengertian yang masuk akal dan dipandangnya sebagai asal yang universal yang diisyaratkan oleh Al-Qur’an al-Karim. (Lihat tarikh at-Tasyri’, hlm. 366)
Dalam teori ijtihad, Imam Syafi’ie,
ketika memahami al-Qur’an maupun Sunnah ada istilah dilalah ghairu mandhum
(penunjukan kalimat terhadap makna dengan menggunakan lafdh yang tidak sharih)
yang tentunya dibutuhkan analisis ‘berfikir tepat’ dalam memahaminya.(Lih.
Modifikasi Hukum Islam, hlm. 35).
Contoh di atas sengaja penulis
paparakan, sekali lagi, tak lain hanyalah untuk menekankan bahwa signifikansi
akal teramat krusial sebagai langkah untuk memperoleh kredibilitas dan
akuntabilitas dalam memecahkan dan membuat kesimpulan pada setiap persoalan
kehidupan.
Akan tetapi, hasil pemikiran
manusia, meskipun dengan menggunakan akal tidak selalu benar. Hasil
pemikirannya, kadang-kadang salah meskipun ia telah bersungguh-sungguh berupaya
mencari yang benar. Kesalahan itu bisa saja terjadi tanpa unsur kesengajaan.
Jika hal itu memang terjadi, maka ia telah mendapat pengetahuan yang salah
meskipun ia yakin akan kebenarannya.
Oleh karena itu, supaya manusia
aman dari kekeliruan berfikir dan selamat dari mendapat kesimpulan yang salah,
maka disusunlah kaidah-kaidah berfikir atau metodologi berfikir ilmiah yang
kita kenal ilmu logika atau manthiq. Bahkan, Syeh Abdurrahman al-Akkhdari dalam
Al-Mandhumah Sullam al-Munawraq mengatakan bahwa peran ilmu mantiq atau logika seperti
halnya “nahwi li allisan” (grammar dalam pegucapan). Maka setidaknya, itulah
yang menjadi latar belakang penulisan makalah ini, meskipun di dalamnya hanya
menyinggung sebagaian kecil dari ilmu logika itu sendiri, seperti arti, obyek,
bagian, dan manfaatnya.
B.
Rumusan
Masalah
Dari
uraian di atas, penulis dapat memberikan rumusan masalah dalam makalah ini
menjadi beberapa topik, yakni:
1. Apakah
pengertian logika itu?
2. Bagaimana
sejarah munculnya ilmu logika?
3. Apa
saja obyek dan pembagian logika?
4. Mengapa
logika penting untuk dipelajari?
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Logika
Kata logika berasal dari bahasa Latin yaitu “logos” yang
berarti perkataan atau sabda. Istilah lain digunakan sebagai gantinya adalah
“mantiq”, kata Arab yang diambil dari kata kerja “nathaqa” yang berarati
berkata atau berucap. Dalam bahasa sehari-hari kita sering mendengar ungkapan
serupa: ‘alasannya tidak logis’, ‘argumentasi logis’, ‘kabar itu tidak logis’.
Yang dimaksud dengan logis adalah masuk akal, dan tidak logis adalah
sebaliknya.
Logika adalah cabang ilmu pengetahuan yang
mengamati tentang prinsip-prinsip pemikiran deduktif dan induktif. Kata logika
menurut istilahnya berarti suatu metode atau teknik yang diciptakan untuk
meneliti ketepatan penalaran. Maka untuk memahami apakah logika itu haruslah
mempunyai pengertian yang jelas tentang penalaran, penalaran adalah suatu
bentuk pemikirann yang meliputi tiga unsur, yaitu konsep pernyataan dan penalaran.
Dalam buku Logicand Language of
Education mantiq disebut sebagai “penyelidikan tentang dasar-dasar dan
metode-metode berfikir benar, sedangkan dalam kamus Munjid disebut sebagai
hukum yang memelihara hati nurani dari kersalahan dalam berfikir. Sedangkan
Irving. M. Copi menyatakan, “logika adalah ilmu yang mempelajari metode dan
hukum-hukum yang digunakan untuk membedakan penalaran yang betul dari penalaran
yang salah.”
Dalam keterangan lain disebutkan
bahwa perkataan logika adalah berasal dari kata sifat “logike” (bahasa Yunani)
yang berhubungan dengan kata benda logos, yang artinya pikiran atau kata
sebagai pernyataan dari pikiran itu. Hal ini menunjukkan adanya hubungan yang
erat antara pikiran dan kata yang merupakan pernyataannya dalam bahasa. Jadi
logika adalah ilmu yang mempelajari pikiran yang dinyatakan dalam bahasa.
Dari uraian di atas dapat
disimpulkan bahwa ilmu mantiq atau logika adalah ilmu tentang kaidah-kaidah
yang dapat membimbing manusia ke arah berfikir secara benar yang menghasilkan
kesimpulan yang benar sehingga ia terhindar dari berfikir secara keliru yang
menghasilkan kseimpulan salah. Hal ini tentunya, disebabakan bahwa dalam
berfikir, manusia tidak selalu benar serta acapkali terjerumus dalam sikap
skeptis dan terjebak dalam kesalahan berfikir dengan tanpa terasa. Bahkan akal
satu-satunya bentuk yang indah, karena akal paling penting dalam pandangan
Islam. Oleh karena itu, Allah swt selalu memuji orang-orang yang berakal
sebagaimana firman-Nya dalam surat al-Baqarah ayat 164 dan surat Ar-Ra’d ayat
3-4.
Atau sederhananya, ilmu ini bisa
disebut pula sebagai studi sistematik tentang struktur proposisi dan
syarat-syarat umum mengenai penalaran yang shahih dengan menggunakan metode
yang mengesampingkan isi atau bahan proposisi dan hanya membahas bentuk
logisnya saja.
Dengan demikian, maka tak heran
jika Al-Farabi menjuluki ilmu logika atau mantiq ini dengan dasar ilmu-ilmu
(raisul uluum), Ibnu sina menjulukinya sebagai khadim al-uluum, dan sebagian
yang lain menjulukinya sebagai ilmu akal.
B.
Sejarah
Munculnya Ilmu Logika
Nama
logika pertama kali muncul pada Filsuf Cicero (abad ke-1 sebelum Masehi) tetapi
dalam arti “seni berdebat”. Alexander Aphrodisias (sekitar permulaan abad ke-3
sesudah Masehi) adalah orang pertama yang mempergunakan kata ‘logika’ dalam
arti ilmu yang menyelidiki lurus tidaknya pemikiran kita.
Yunani adalah negeri asal ilmu
mantiq atau logika karena banyak penduduknya yang mendapat karunia otak cerdas.
Negeri Yunani, terutama Athena diakui menjadi sumber berbagai ilmu. Socrates,
Plato, Aristoteles dan banyak yang lainnya adalah tokoh-tokoh ilmiah kelas
super dunia yang tidak ada ilmuwan nasional dan internasional tidak mengenalnya
sampai sekarang dan akan datang. Tetapi, khusus untuk logika atau ilmu mantiq
Aristoteleslah yang menjadi guru utamanya.
Akan tetapi, meski Aristoteles
terkenal sebagai “Bapak Logika”, itu tidak berarti bahwa sebelum dia tidak ada
logika. Segala orang ilmiah dan ahli filosofi sebelum Aristoteles menggunakan
logika sebaik-baiknya. Dalam literatur lain, disebutkan bahwa Aristoteleslah
orang yang pertama kali meletakkan ilmu logika, yang sebelumnya memang tidak
pernah ada ilmu tentang logika tersebut. Maka tak heran jika ia dijuluki
sebagai “Muallim Awwal” (Guru pertama). Bahkan Filosof Besar Immanuel Kant
mengatakan 21 abad kemudian, bahwa sejak Aristoteles logika tidak maju
selangkah pun dan tidak pula dapat mundur.
Sepintas, ada beragam pendapat tentang
siapa peletak pertama ilmu logika ini. Akan tetapi jika ditelisik lebih mendalam,
maka akan tampak suatu benang merah bahwa sebelum Aristoteles memang ada
logika, akan tetapi ilmu logika sebagai ilmu yang sistematis dan tersusun resmi
baru muncul sejak Aristoteles, dan memang dialah yang pertama akali
membentangkan cara berfikir yang teratur dalam suatu sistem. Kecerdasan
penduduk Yunani itulah barangkali yang telah menyebabkan antara lain, lahirnya
kelompok Safshathah. Kelompk ini dengan ketangkasan debat yang mereka miliki
menghujat dan malah merusak sistem sosial, agama dan moral dengan cara
mengungkap pernyataan-pernyataan yang kelihatannya sebagai benar, tetapi
membuat penyesatan-penyesatan pemikiran nilai dan moral.
Di antara pernyataan-pernyataan
mereka adalah :
·
Kebaikan adalah apa
yang Anda pandang baik
·
Keburukan adalah apa yang
anda pandang buruk
·
Apa yang diyakini benar
oleh seseorang, itulah yang benar buat dia
·
Apa yang diyakini salah
oleh seseorang, itulah yang salah buat dia
Aristoteles (384 –322 SM.) berusaha
mengalahkan mereka secara ilmiah dengan pernyataan-pernyataan logis yang
brilian. Pernyataan itu ia peroleh melalui diskusi dengan murid-muridnya. Karya
Aristoteles itu sangat dikagumi pada masanya dan masa sesudahnya sehingga
logika dipelajari di setiap perguruan. Plato (427-347 SM.), Murid Socrates
hanya menambahnya sedikit. Immanuel Kant (1724-1804 M) pemikir terbesar bangsa
Jerman menyatakan bahwa logika yang diciptakan Aristoteles itu tidak bisa
ditambah lagi walau sedikit karena sudah cukup sempurna.
Logika formal merupakan hasil
ciptaan Aristoteles yang dirintis oleh retorika kaum Shofis dan dialektika yang
umum digunakan untuk menimbang-nimbang pada masa hidup Plato. Inti pokok logika
Aristoteles ialah ajarannya mengenai penalaran dan pembuktian. Baginya,
penalaran pertama-tama merupakan silogisme yang di dalamnya berdasar dua buah
tanggapan orang menyimpulkan tanggapan ketiga. Untuk dapat secara lurus
melakukan penyimpulan ini perlu diketahui mengenai hakikat tanggapan, ada
tanggapan singular dan tanggapan particular.
Akan tetapi Konsili Nicae (325 M),
menyatakan menutup pusat-pusat pelajaran filsafat Grik di Athena, Antiokia dan
Roma. Pelajar logika juga dilarang kecuali bab-bab tertentu saja yang dipandang
tidak merusak akidah kristiani. Hal ini merupakan pukulan mematikan bagi
filsafat Yunani dan sekaligus logika. Sejak masa itu sampai hampir seribu tahun
lamanya alam pemikiran di Barat menjadi padam, sehingga dikenal dengan zaman
Drak Ages (zaman gelap).
Pada abad ke-7 Masehi berkembanglah
agama islam di jazirah Arab dan pada abad ke-8, agama ini telah dipeluk secara
meluas ke Barat sampai perbatasan Perancis sampai Thian Shan. Dizaman kekuasaan
khalifah Abbasiyyah sedemikian banyaknya karya-karya ilmiah Yunani dan lainnya
diterjemahkan ke dalam bahasa, sehingga ada suatu masa dalam sejarah islam yang
dijuluki dengan Abad Terjemahan. Logika karya Aristoteles juga diterjemahkan
dan diberi nama Ilmu Mantiq.
Di antara ulama dan cendikiawan
muslim yang terkenal mendalami, menerjemah dan mengarang di bidang ilmu Mantiq
adalah Abdullah bin Muqaffa’, ya’kub Ishaq Al-Kindi, Abu Nasr Al-farabi, Ibnu
Sina, Abu Hamid Al-Gahzali, Ibnu Rusyd, Al-Qurthubi dan banyak lagi yang lain.
Al-Farabi, pada zaman kebangkitan Eropa dari abad gelapnya malah dijuluki
dengan Guru Kedua Logika.
Kemudian menyusullah zaman
kemunduran dibidang mantiq atau logika karena dianggap terlalu memuja akal. Di
antara ulama-ulama besar islam seperti Muhyiddin An-Nawawi, Ibnu Shalah,
Taqiyuddin ibnu Taimiyah, Syadzuddin at-Taftsajani malah mengharamkan
mempelajari ilmu mantiq. Namun komunitas ulama dan cendikiawan Muslim
membolehkan bahkan menganjurkan untuk mempelajarinya sebagai penyempurna dalam
menginterpretasikan hadits dan al-Qur’an.
C.
Pembagian
logika
Sistematisasi logika dapat
diklsaifikasikan menjadi beberapa bagian, tergantung dari mana kita meninjaunya.
Pertama, dari segi obyeknya. Pada
bagian ini logika dapat dibedakan menjadi dua, (1) logika formal atau mantiq
as-shuwari, (2) logika material atau mantiq al-maddi. Hal ini sudah dijelaskan
pada sub “Obyek Logika”.
Kedua, dari segi kualitasnya.
Disini Mantiq/logika dapat dibedakan menjadi Naturalis (Mantiq al-Fithri),
yaitu kecakapan berlogika berdasarkan kemampuan manusia. Akal manusia yang
normal dapat berjalan dan bekerja secara spontan sesuai hukum-hukum logika
dasar. Bagaimanapun rendahnya intelegensi seseorang ia dapat membedakan bahwa
sesuatu itu adalah berbeda dengan sesuatu yang lain, dan bahwa dua kenyataan
yang bertentangan adalah tidak sama.
Tetapi dalam mengahadapi
permasalahan yang rumit dan dalam berfikir, manusia banyak dipengaruhi oleh
kecendrungan pribadi disamping bahwa pengetahuan manusia sangat terbatas
mengakibatkan tidak mungkin terhindar dari kesalahan. Nah, untuk mengatasai
kenyataan yang tidak bisa ditanggulangi oleh Mnatiq al-Fitri, manusia menyusun
hukum-hukum patokan-patokan , rumus-rumus berfikir lurus. Logika inilah yang
disebut dengan Logika Artifisialis atau Logika Ilmiah (Mantiq As-Suri) yang
bertugas membantu Mantiq Al-Fitri. Mantiq ini memperhalus, mempertajam, serta
menunjukkan jalan pemikiran agar akal dapat bekerja lebih teliti,, efisien,
mudah dan aman. Ketiga, dari segi metodenya, mantiq/logika dapat dibedakan atas
Logika Tradisional (Mantiq al-Qadim) dan Logika Modern (Mantiq al-Hadits).
Logika tradisional adalah logika Aristoteles, dan logika para Logikus yang
lebih kemudian, tetapi masih mengikuti system Logika Aristoteles. Sedangkan
Logika Modern tumbuh dan berkembang mulai pada abad XIII. Mulai abad ini
ditemukan sistem baru, metode baru yang berlainan dengan sisitem Logika
Aristoeteles. Saatnya dimulai sejak Raymundus Lullus menemukan metode baru
logika yang disebut Ars magna.
Adapun Logika menurut The Liang Gie (1980) terbagi
menjadi lima bagian:
1. Logika
makna luas dan logika makna sempit
Dalam arti sempit istilah tersebut
dipakai searti dengan deduktif atau logika formal. Sedangkan dalam arti yang
lebih luas pemakaiannya mencakup kesimpulan-kesimpulan dari berbagai bukti dan
tentang bagaimana sistem penjelasan di susun dalam ilmu alam serta meliputi
pula pembahasan mengenai logika itu sendiri.
2. Logika
Deduktif dan Induktif
Logika
deduktif adalah suatu ragam logika yang mempelajari asas-asas pelajaran yang
bersifat deduktif, yakni suatu penalaran yang menurunkan suatu kesimpulan
sebagai kemestian dari pangkal pikirnya sehingga bersifat betul menurut
bentuknya saja. Logika induktif merupakan suatu ragam logika yang mempelajari
asas-asas penalaran yang betul dari sejumlah hal khusus sampai pada suatu
kesimpulan umum yang bersifat boleh jadi.
3. Logika
Formal dan Material
Logika formal adalah mempelajari asas
aturan atau hukum-hukum berfikir yang harus ditaati agar orang dapat berfikir
dengan benar mencapai kebenaran. Logika material mempelajari langsung pekerjaan
akal serta menilai hasil-hasil logika formal dan mengujinya dengan kenyataan
praktis sesungguhnya. Logika material mempelajari sumber-sumber dan asalnya
pengetahuan, proses terjadinya pengetahuan dan akhirnya merumuskan metode ilmu
pengetahuan itu. Dan sekarang, logika formal adalah ilmu yang mengandung
kumpulan kaidah cara berfikir untuk mencapai kebenaran.
4. Logika
Murni dan Terapan
Logika murni adalah merupakan suatu
pengetahuan mengenai asas dan aturan logika yang berlaku umum pada semua segi
dan bagian dari pernyataan-pernyataan dengan tanpa mempersoalkan arti khusus
dalam suatu cabang ilmu dari sitilah yang dipakai dalam pernyataan dimaksud.
Logika terapan adalah pengetahuan logika yang diterapkan dalam setiap cabang
ilmu bidang-bidang filsafat dan juga dalam pembicaraan yang menggunakan bahasa
sehari-hari.
5. Logika
Falsafati dan Matematik
Logika falsafati dapat digolongkan
sebagai suatu ragam atau bagian logika yang masih berhubungan sangat erat
dengan pembahasan dalam bidang filsafat, seperti logika kewajiban dengan etika
atau logika arti dengan metafisika. Adapun logika matematik serta bentuk
lambang yang khusus dan cermat untuk menghindarkan makna ganda atau kekaburan
yang terdapat dalam bahasa biasa.
D.
Manfaat
Logika (Ilmu Mantiq)
Di antara manfaat ilmu mantiq atau
logika ialah:
a. Membuat
daya fikir akal tidak saja menjadi lebih tajam tetapi juga lebih menjadi
berkembang melalui latihan-latihan berfikir dan menganalisis serta mengungkap
permasalahan secara ilmiah.
b. Membuat
seseorang menjadi mampu meletakkan sesuatu pada tempatnya dan mengerjakan
sesuatu pada waktunya.
c. Membuat
seseorang mampu membedakan— ini merupakan manfaat yang paling asasi ilmu mantiq
atau logika —antara pikir yang benar dan oleh karenanya akan menghasilkan
kesimpulan yang benar dan urut pikir yang salah yang dengan sendirinya akan
menampilkan kesimpulan yang salah.
E.
Analisis
Pembahasan
Dari berbagai uraian di atas maka
dapatlah ditarik “benang merah” bahwa para pemikir muslim sepaakat bahwa
kekuatan akal atau rasionalisme sangat diperlukan dalm kajian-kajian keagamaan.
Namun, sampai sejauh mana kemampuan rasio bisa diikuti dan dipakai, inilah yang
menjadi persoalan. Sebagian menyatakan bahwa rasio mesti ditempatkan di bawah
wahyu, sebaliknya sebagian yang lain menganggap bahwa rasio saja telah cukup
untuk membimbing manusia dalam mengenal kebenaran dan Tuhan, wahyu hanya
diperlukan sebagai justifikasi penemuan akal.
Bertolak dari berbagai pendapat
para pemikir muslim tersebut, ada beberapa catatan yang perlu disampaikan dalam
analisis ini, yakni tentang cacat dan kelemahan dari penalaran logika yang di
dalamnya menggunakan prinsip silogisme. Artinya, meskipun kekuatan nalar
burhani ini sangat diperlukan dalam kajian keislaman, ternyata banyak
mengandung kelemahan-kelemahan.
1. Prinsip
silogisme burhani yang diambil dari Aristoteles yang lebih mengutamakan sesuatu
yang rasional dan kebenaran yang empiris, secara tidak langsung berarti telah
membatasi keberagaman serta keluasan realitas. Kenyataannya, realitas tidak
hanya pada apa yang konkret, yang tertangkap indera, tetapi ada juga realitas
yang di luar itu, seperti jiwa dan konsep mental. Artinya, di sini ada
kebenaran-kebenaran lain yang tidak bisa didekati dengan silogisme, seperti
dikatakan Suhrawardi.
2. Silogisme
tidak bisa menjelaskan atau menyimpulkan eksisitensi empiris di luar pikiran
seperti soal warna, rasa, bau atau bayangan. Artinya, tidak semua keadaan atau
objek diungkap lewat silogisme sebagimana kritik yang disampaikan Suhrawrdi dan
Leibniz (1646-1716 M). (Lorens Bagus, 1996 : 87)
3. Prinsip
logika burhani yang menyatkan bahwa atribut sesuatu harus didefinisikan oleh
atribut yang lain akan menggiring pada proses tanpa akhir, ad infinitum. Itu
berarti tidak akan ada absurditas yang bisa diketahui. Logika burhani, dengan
prinsip silogisme-nya, seperti dikritik Suhrwardi, sebenarnya tidak memberikan
apa-apa, tidak menghasilkan pengetahuan baru.
4. Sejalan
dengan no. 3, dengan prinsip bahwa kesimpulan yang khusus harus dideduksikan
dari pernyataan yang umum, maka apa yang disebut kesimpulan sebenarnya telah
tercantum secara implicit pada pernyataan umu yang disebut premis mayor; jika
belum ada, maka sia-sialah usaha silogisme tersebut karena sesuatu yang tidak
ada tidak akan melahirkan sesuatu yang baru. Ini termasuk kritik yang
dilontarkan Bacon (1561-1626 M) dan John Stuart Mill (1806-1873 M) pada logika
Aristoteles yang dipakai burhani. (Verhaak, 1997 : 137- 145; Bernard Delfgaaw,
1992 : 108)
5. Silogisme
ternyata telah cenderung mengiring penganutnya pad cara berfikir hitam putih,
benar salah, sebagaimana yang terjadi dalam model pikiran teologi (ilmu kalam)
yang memang banyak menggunakan logika ini. Akibatnya, pemikiran teologi menjadi
sangat keras dan mudah menimbulkan konflik, karena tidak mengenal keebenaran
pada pihak lain. Kebanaran hanya ada di pihaknya sendiri.
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari pembahasan di atas maka dapat
disimpulkan beberapa kesimpulan, di antaranya adalah:
a. Logika
dapat diartikan sebagai ilmu tentang kaidah-kaidah yang dapat membimbing
manusia ke arah berfikir secara benar yang menghasilkan kesimpulan yang benar
sehingga ia terhindar dari berfikir secara keliru yang menghasilkan kseimpulan
salah. Atau sederhananya, ilmu ini bisa disebut pula sebagai studi sistematik
tentang struktur proposisi dan syarat-syarat umum mengenai penalaran yang
shahih dengan menggunakan metode yang mengesampingkan isi atau bahan proposisi
dan hanya membahas bentuk logisnya saja.
b. Dalam
sejarahnya logika muncul secara resmi dan tersusun pada saat Aristoteles
melakukan reaksi terhadap paham Shopis yang telah membuat kekaburan dalam
masyarakat dengan pemikirannya yang sesat.
c. Pembagian
logika dapat dikelompokkan menjadi :
(a) logika makna
luas dan logika makna sempit,
(b) logika
deduktif dan induktif,
(c) logika
formal dan logika material,
(d) logika murni
dan terapan,
(e) logika
falsafati dan logika matematik.
d. Manfaat
yang paling asasi mempelajari ilmu logika adalah untuk membuat seseorang mampu
membedakan antara berpikir yang benar dan oleh karenanya akan menghasilkan
kesimpulan nyang benar dan terhindar dari kesimpulan yang salah.
e. Logika
burhani (prinsip silogisme) ternyata juga memiliki banyak cacat dan kelemahan
sebagaimana pada sub bab “Analisis Pembahasan”. Itulah barangkali yang
menyebabakan sebagian para pemikir muslim mengklaim haram untuk mempelajari
ilmu mantiq.
B.
Saran
Dengan membaca makalah ini penulis
berharap semoga kita dapat berfikir tepat dan benar sehingga terhindar dari
kesimpulan yang salah dan kabur. Setidaknya dengan makalah ini, ada semacam
pencerahan intelektual dan menyuguhkan motivasi yang intrinsik untuk segera
mempelajari ilmu logika sehingga kita dapat meminimalisasi kesalahan dalam
berfikir.
Tentunya, dalam makalah ini akan
ditemukan kelemahan-kelemahan atau bahkan kekeliruan. Dengan itu, penulis
sangat berharap adanya masukan dari pembaca dan kritik konstruktif sebagai
upaya pembangunan mental guna penyelesaian pada makalah-makalah selanjutnya.
Dan, hal itu penulis harapkan dengan kerendahan hati dan ketulusan jiwa.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Ahdhari,
Abdurrahman, Mandhumah Sullam al- Munawraq fi Ilmi al-Manthiq, Dar Hifdh
Assalafiyah, t.tp.
Aziz, Muhammad Ali, Logika, Fakultas Dakwah IAIN Sunan Ampel, 1993
Bagus, Lorens, Kanus Filsafat, Jakarta, Gramedia, 1996
Baihaqi, AK, Ilmu Mantiq Teknik dasar Berfikir Logik, Jakarta, Dar Ulum Press, cet-2, 2001
Bernard Delfgaauw, Sejarah Ringkas Filsafat Barat, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1992, cet-1
Dahlan, Mohammad dkk., Kamus Induk Ilmiah, Surabaya, Target Press, 2003
Mohammad Hata, Alam Pikiran Yunani, Jakarta, UI-Press, cet-3, 1986
Mundiri, Logika, Jakarta: PT. Raja Garfindo Persada, 2001
Nur Ibrahimi, Mohammad, Ilmul Mantiq, Surabaya, Sa’ad Bin Nashir Nubhan, t.th.
Poejawijatna, Logika Filsafat Berfikir, Jakarta, PT. Rineka Cipta, cet-7, 1992
Syeh Hadi, Naqd al_Araa’ al-Manthiqiyyah wa Hilli Musykilatihaa, t.tp. t.th.
Soekadijo, Logika Dasar, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 1991
A. Khudari Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2004
Surajiyo, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, Jakarta, Bumi Aksara, cet-1, 2005
Verhaak, Filsafat Ilmu Pengetahuan, Jakarta, Gramedia, 1997
Zaini Dahlan dkk., Filsafat Hukum Islam, Direktorat Jendral Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI, 1987
Zuhri, Muhammad, Tarjamah Tarikh Tasyri’, Semarang, Darul Ihya’, 1980
Aziz, Muhammad Ali, Logika, Fakultas Dakwah IAIN Sunan Ampel, 1993
Bagus, Lorens, Kanus Filsafat, Jakarta, Gramedia, 1996
Baihaqi, AK, Ilmu Mantiq Teknik dasar Berfikir Logik, Jakarta, Dar Ulum Press, cet-2, 2001
Bernard Delfgaauw, Sejarah Ringkas Filsafat Barat, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1992, cet-1
Dahlan, Mohammad dkk., Kamus Induk Ilmiah, Surabaya, Target Press, 2003
Mohammad Hata, Alam Pikiran Yunani, Jakarta, UI-Press, cet-3, 1986
Mundiri, Logika, Jakarta: PT. Raja Garfindo Persada, 2001
Nur Ibrahimi, Mohammad, Ilmul Mantiq, Surabaya, Sa’ad Bin Nashir Nubhan, t.th.
Poejawijatna, Logika Filsafat Berfikir, Jakarta, PT. Rineka Cipta, cet-7, 1992
Syeh Hadi, Naqd al_Araa’ al-Manthiqiyyah wa Hilli Musykilatihaa, t.tp. t.th.
Soekadijo, Logika Dasar, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 1991
A. Khudari Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2004
Surajiyo, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, Jakarta, Bumi Aksara, cet-1, 2005
Verhaak, Filsafat Ilmu Pengetahuan, Jakarta, Gramedia, 1997
Zaini Dahlan dkk., Filsafat Hukum Islam, Direktorat Jendral Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI, 1987
Zuhri, Muhammad, Tarjamah Tarikh Tasyri’, Semarang, Darul Ihya’, 1980
0 comments:
Post a Comment