Komunikasi Pembangunan
Teori Difusi Inovasi
Termasuk ke dalam pengertian peran komunikasi secara
luas dalam mengubah masyarakat melalui penyebar-serapan ide-ide dan hal-hal
baru adalah kegiatan yang dikenal dengan “Difusi Inovasi”. Difusi merupakan
suatu bentuk khusus komunikasi. Menurut Rogers dan Shoemaker (1971), studi
difusi mengkaj pesan-pesan yang berupa ide-ide ataupun gagasan-gagasan baru.
Lalu karena pesan-pesan yang disampaikan itu merupakan hal-hal yang baru, maka
di pihak penerima akan timbul suatu derajat resiko tertentu. Hal ini kemudian
menyebabkan perilaku yang berbeda (karena adanya hal-hal baru tersebut) pada
penerima pesan, daripada kalai si penerima pesan berhadapan dengan pesan-pesan
biasa yang bukan inovasi.
Pada masyarakat yang sedang membangun seperti di
Negara-negara berkembang, penyebarserapan (difusi) inovasi terjadi
terus-menerus, dari suatu tempat ke tempat yang lain, dari suatu waktu ke kurun
waktu yang berikutnya, dan dari bidang tertentu ke bidang yang lainnya. Difusi
inovasi sebagai suatu gejala kemasyarakatan berlangsung berbarengan dengan
perubahan social yang terjadi. Bahkan kedua
hal itu merupakan sesuatu yang saling menyebabkan satu sama lain.
Penyebarserapan inovasi menyebabkan masyarakat menjadi berubah, dan perubahan
sosial pun merangsang orang untuk menemukan dan menyebarkan hal-hal yang baru.
Berlangsungnya suatu perubahan
sosial, di antaranya disebabkan diperkenalkannya ataupun dimasukkannya hal-hal,
gagasan-gagasan, dan ide-ide yang baru. Hal-hal yang baru tersebut dikenal
sebagai inovasi.
Masuknya inovasi ke tengah suatu
sistem sosial terutama karena terjadinya komunikasi antar-anggota suatu
masyarakat, ataupun antara suatu masyarakat dengan masyarakat yang lain. Dengan
demikian komunikasi merupakan faktor yang penting untuk terjadinya suatu
perubahan sosial. Melalui saluran-saluran komunikasilah terjadi pengenalan,
pemahaman, penilaian, yang kelak akan menghasilkan penerimaan ataupun penolakan
terhadap suatu inovasi.
Sekalipun masyarakat barangkali
ada yang sudah terbiasa dengan masuknya hal-hal baru tersebut, namun
sesungguhnya proses ini tidak sederhana yang diduga. Bahan tidak jarang, proses
tersebut menimbulkan pro dan kontra di tengah-tengah suatu masyarakat. Pro dan
kontra tersebut tercermin dalam berbagai sikap dan tanggapan dari anggota
masyarakat yang bersangkutan, ketika proses yang dimaksud berlangsung di
tengah-tengah mereka. Karena itu proses masuk dan diterima atau ditolaknya
inovasi merupakan bidang kajian yang cukup luas pula permasalahannya.
Komponen-komponen
dan Proses Difusi Inovasi
Dalam proses penyebarserapan
inovasi terdapat unsur-unsur utama yang terdiri dari (Rogers dan Shoemaker,
1971) :
1) Suatu inovasi;
2) Yang dikomunikasikan melalui saluran tertentu;
3) Dalam suatu jangka waktu;
4) Di antara para anggota suatu sistem sosial.
Dalam pandangan masyarakat
yang menjadi klien dalam penyebarserapan inovasi, ada lima atribut yang
menandai setiap gagasan atau cara-cara baru yang dimaksud,yaitu:
a. Keuntungan-keuntungan relatif (relatif
advantages); yaitu apakah cara-cara atau gagasan baru ini memberikan sesuatu
keuntungan relatif bagi mereka yang kelak menerimanya.
b. Keserasian (compatibility); yaitu apakah
inovasi yang hendak didifusikan itu serasi dengan nilai-nilai, sistem
kepercayaan, gagasan yang lebih dahulu diperkenalkan sebelumnya,kebutuhan,
selera, adat-istiadat, dan sebagainya dari masyarakat yang bersangkutan.
c. Kerumitan (complexity); apakah inovasi
tersebut dirasakan rumit. Pada umumnya masyarakat tidak atau kurang berminat
pada hal-hal yang rumit, sebab selain sukar untuk dipahami, juga cenderung
dirasakan merupakan tambahan beban yang baru.
d. Dapat dicobakan (trialibility); yaitu
bahwa suatu inovasi akan lebih cepat diterima, bila dapat dicobakan dulu dalam
ukuran kecil sebelum terlanjur menerimanya secara menyeluruh. Ini adalah
cerminan prinsip manusia yang selalu ingin menghindari suatu resiko yang besar
dari perbuatannya, sebelum ”nasi menjadi bubur”.
e. Dapat dilihat (observability); jika suat
inovasi dapat disaksikan denganmata, dapat terlihat langsung hasilnya, maka
orang akan lebih mudah untuk mempertimbangkan untuk menerimanya,ketimbang bila
inovasi itu berupa sesuatu yang abstrak, yang hanya dapat diwujudkan dalam
pikiran, atau hanya dibayangkan.
Kelima atribut tersebut di
atas, menentukan bagaimana tingkat penerimaan terhadap sesuatu inovasi yang
didifusikan di tengah-tengah suatu masyarakat.
Penerimaan terhadap sesuatu
inovasi oleh suatu masyarakat tidaklah terjadi secara serempak. Ada yang memang
sudah menanti datangnya inovasi (karena sadar akan kebutuhannya),ada yang
melihat dulu sekelilingnya, ada yang baru menerima setelah yakin benar akan
keuntungan-keuntungan yang kelak diperoleh dengan penerimaan itu, dan ada pula
yang tetap bertahan untuk tidak mau menerima.
Masyarakat yang menghadapi
suatu penyebarserapan inovasi, oleh Rogers dan Shoemaker (1971) dikelompokkan
dalam golongan-golongan berikut :
1) Inovator, yakni mereka yang memang
sudah pada dasarnya menyenangi hal-hal baru, dan rajin melakukan
percobaan-percobaan.
2) Penerima dini (early adopters), yaitu orang-orang yang
berpengaruh , tempat teman-teman sekelilingnya memperoleh informasi, dan
merupakan orang-orang yang lebih maju dibanding orang sekitarnya.
3) Mayoritas dini (early majority), yaitu orang-orang
yang menerima inovasi selangkah lebih dahulu dari rata-rata kebanyakan orang
lainnya.
4) Mayoritas belakangan (late majority), yakni
orang-orang yang bersedia menerima suatu inovasi apabila menurut penilaiannya
semua sekelilingnya sudah menerima.
5) Laggards, yaitu lapisan yang paling akhir dalam
menerima suatu inovasi.
Dalam penerimaansesuatu
inovasi, biasanya seseorang melalui sejumlah tahapan yang disebut tahap putusan
inovasi, yaitu :
a. Tahap pengetahuan. Tahap dimana seseorang
sadar, tahu, bahwa ada suatu inovasi.
b. Tahap bujukan. Tahap ketika seseorang
sedang mempertimbangkan, atau sedang membentuk sikap terhadap inovasi yang
telah diketahuinya tadi, apakah ia menyukainya atau tidak.
c. Tahap putusan. Tahap dimana seseorang
membuat putusan apakah menerima atau menolak inovasi yang dimaksud.
d. Tahap implementasi. Tahap seseorang
melaksanakan keputusan yang telah dibuatnya mengenai suatu inovasi.
e. Tahap pemastian. Tahap seseorang
memastikan atau mengkonfirmasikan putusan yang telah diambilnya tadi.
Agen-Agen Perubahan; Tugas dan
Peranannya.
Usaha-usaha pembangunan suatu
masyarakat selalu ditandai oleh adanya sejumlah orang yang mempelopori,
menggerakkan, dan menyebarluaskan proses perubahan tersebut. Orang-orang itu
dalam kepustakaan ilmu-ilmu sosial dikenal dengan sebutan Agen perubahan
(Change Agents).
Kualifikasi dasar agen perubahan
menurut ”Duncan dan Zaltman” merupakan tiga yag utama diantara sekian banyak
kompetisi yang mereka miliki, yaitu:
1)
Kualifikasi teknis, yakni komptensi teknis dalam tugas spesifik dari proyek
perubahan yang bersangkutan.
2)
Kemampuan administratif, yaitu persyaratan administratif yang paling dasar dan
elementer, yakni kemauan untuk mengalokasikan waktu untuk persoalan-persoalan
yang relatif menejelimet (Detailed).
3)
Hubungan antarpribadi. Suatu sifat yang paling penting adalah empati, yaitu
kemampuan seseorang untuk mengidentifikasikan diri dengan orang lain,
berbagai akan perspektif dan perasaan mereka dengan seakan-akan mengalaminya
sendiri.
Suatu usaha perubahan sosial yang
berencana tentu ada yang memprakarsainya. Prakarsa itu dimulai sejak menyusun
rencana, hingga mempelopori pelaksanannya. Bila kita lihat dalam suatu
masyarakat yang melaksanakan pembangunan sebagai suatu petubahan sosial yang
berencana, maka lembaga-lembaga perubahan (Change Agencies) tersebut adalah
semua pihak yang melaksanakan pembangunan itu sendiri. Ke dalamnya termasuk
pemerintah secara keseluruhan, berikut departemen-departemen,lembaga-lembaga
masyarakat, termasuk lembaga-lembaga perekonomian beserta segala
kelengkapannya.
Orang-orang yang melaksanakan
tugasnya mewujudkan usaha perubahan sosial tersebut dinamakan ”Agen Perubahan”,
yang menurut Rogers and Shoemaker (1971), merupakan petugas profesional yang
mempengaruhi putusan inovasi klien menurut arah yang diinginkan oleh lembaga
perubahan. Jadi semua orang yang bekerja untuk mempelopori, merencanakan, dan
melaksanakan perubahan sosial adala temasuk agen-agen perubahan.
Dalam rumusan ”Havelock (1973)”,
agen perubahan adalah seseorang yang membantu terlaksananya perubahan sosial
atau suatu inovasi yang berencana. Dalam kenyataan sehari-hari, maka sejak
mereka yang bekerja sebagai perencana pembangunan, hingga para petugas lapangan
pertanian, pamong, guru, penyuluh, dan lain sebagainya adalah agen-agen
perubahan.
Menurut Rogers dan Shoemaker,
agen-agen perubahan itu berfungsi sebagai mata-rantai komunikasi antardua (atau
lebih) sistem sosial, yaitu menghubungkan antara suatu sistem sosial yang
mempelopori perubagan tadi dengan sistem sosial yang menjadi klien dalam usaha
perubahan tersebut. Hal itu tercermin dalam peranan utama seorang agen
perubahan (Havelock, 1973; hlm. 7);
1)
Sebagai katalisator, menggerakkan masyarakat untuk mau melakukan perubahan.
2)
Sebagai pemberi pemecahan persoalan.
3)
Sebagai pembantu proses perubahan; membantu dalam proses pemecahanmasalah dan
penyebaran inovasi, serta memberi petunjuk mengenai bagaimana :
§
Mengenali danmerumuskan kebutuhan.
§
Mendiagnosa permasalahan dan menetukan tujuan.
§
Mendapatkan sumber-sumber yang relevan.
§
Memilih atau menciptakan pemecahan masalah.
§
Menyesuaikan dan merencanakan pentahapan pemecahan masalah.
4)
Sebagai penghubung (linker) dengan sumber-sumber yang diperlukan untuk
memecahkan masalah yang dihadapi.
Inti dari peranan agen perubahan
dalam proses pembangunan masyarakat, menurut ”O’Gorman (1978)” adalah :
1)
The ”ought”; yaitu mengidentifikasikan tujuan, isu, dan permasalahan.
2)
The ”can be”; yaitu melakukan identifikasi dan pemanfaatan dari :
§
Sumber-sumber
§
Kepemimpinan
§
organisasi
3)
The ”Shall be”; yakni dimensi tindakan atau kegiatan di mana prioritas
ditegakkan dan ditetapkan, rencana dan pelaksanaan, serta evaluasi dilakuan
menurut urutan yang teratur agar alternatif yang telah dipilih dapat membawa
hasil yang diharapkan.
Tugas-Tugas Agen Perubahan
Setidak-tidaknya ada tujuh tugas
utama agen perubahan dalam melaksanakan difusi inovasi (Rogers dan
Shoemaker,1971) yaitu :
1)
Menumbuhkan keinginan masyarakat untuk melakukan perubahan.
2)
Membina suatu hubungan dalam rangka perubahan (Change Relationship).
3)
Mendiagnosa permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat.
4)
Menciptakan keinginan perubahan di kalangan klien.
5)
Menerjemahkan keinginan perubahan tersebut menjadi tindakan yang nyata.
6)
Menjaga kestabilan perubahan dan mencegah terjadinya drop-out.
7)
Mencapai suatu terminal hubungan.
0 comments:
Post a Comment