Wednesday, April 26, 2017

KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA DI ERA BUDAYA SIBER

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Komunikasi antar budaya adalah komunikasi yang terjadi di antara orang-orang yang memiliki kebudayaan yang berbeda (bisa beda ras, etnik, atau sosioal ekonomi, atau gabungan dari semua perbedaan ini). Kebudayaan adalah cara hidup yang berkembang dan dianut oleh sekelompok orang serta berlangsung dari generasi ke generasi.

Dalam perspektif cultural studies, internet merupakan ruang dimana kultur  yang terjadi itu diproduksi, didistribusikan, dan dikonsumsi. Sebagaimana sifat dasar perspektif ini yang mengaburkan kelas-kelas sebagai sebuah strata yang ada di tengah masyarakat, cultural studies memberikan semacam perlawanan dari sebuah kemampanan strukturasi kelas sosial. Gerakan-gerakan sosial seperti feminisme menandakan bahwa sebuah kultur tidak hanya diciptakan oleh kelas tertentu, dalam pandangan Marx misalnya oleh kaum borjuis, namun bisa dihasilkan oleh masyarakat bahkan individu yang merupakan agen-agen sosial (Mosco, 1996:251).

Jika memakai istilah ekonomi-politik, maka kultur merupakan komoditas yang diproduksi. Artinya, pendekatan cultural studies dalam melihat budaya siber yang ada di internet memberikan arah untuk melihat bagaimana proses komodifikasi itu terjadi di ruang virtual; dengan tentu saja mengabaikan kajiannya berdasarkan perdedaan kelas hingga hubungan pekerja-pemodal sebagaimana hal ini menjadi sentral awal diskursus tentang ekonomi-politik (hlm.252). Jika ekonomi-politik mengawali pembahasannya melalui “macrosocial organization of power” atau organisasi kekuasaan, maka cultural studies mendekatinya melalui “local organization of power” dimana kekuasaan itu berada didalam diri subyek atau individu itu sendiri (intersubjective). Bagi Mosco, fokus dari cultural studies  terletak pada teks sebagai salah satu titik awal untuk melihat bagaimana fenomena sosial itu terjadi.

McQuail menegaskan bahwa ada hubungan antara ekonomi-politik dan budaya di media. Aspek ekonomi-politik memainkan peran dari pengaturan produksi budaya yang terjadi di industri media massa sebagai ‘industri dengan kesadaran’. Media pada dasarnya merupkan institusi yang disetir oleh logika ekonomi sampai pada perubahan budaya. Aspek penting dalam pemikiran McQuail ini adalah komodifikasi budaya dalam bentuk ‘perangkat lunak’ yang diproduksi oleh dan untuk ‘perangkat keras’ komunikasi yang keduanya dijual dalam pasar yang lebih luas.

A.    Rumusan Masalah
a.       Bagaimana proses terbentuknya komunikasi antar budaya di era budaya siber?
b.      Bagaimana dampak negative dari budaya siber?
c.       Bagaimana pengaruh internet terhadap budaya siber tersebut?

B.     Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui bagaimana proses terbentuknya komunikasi antar budaya di era budaya siber, sehingga memudahkan khalyak untuk mempelajari lebih lanjut tentang budaya siber tersebut.




BAB II
PEMBAHASAN
A.    Komunikasi AntarBudaya
Komunikasi antarbudaya adalah komunikasi yang terjadi di antara orang-orang yang memiliki kebudayaan yang berbeda (bisa beda ras, etnik, atau sosioekonomi, atau gabungan dari semua perbedaan ini). Kebudayaan adalah cara hidup yang berkembang dan dianut oleh sekelompok orang serta berlangsung dari generasi ke generasi.

McLuhan (dalam Infante et.al, 1990 : 371) menyatakan bahwa dunia saat ini telah menjadi “Global Village” yang mana kita mengetahui orang dan peristiwa yang terjadi di negara lain hampir sama seperti layaknya seorang warga negara dalam sebuah desa kecil yang menjadi tetangga negara – negara lainnya.

Perubahan sosial adalah hal lain yang berpengaruh dalam komunikasi antar budaya adalah dengan makin banyaknya perayaan - perayaaan budaya sebuah etnis dalam sebuah negara.

Perbedaan budaya dalam sebuah negara menciptakan keanekaragaman pengalaman, nilai, dan cara memandang dunia. Keanekaragaman tersebut menciptakan pola – pola komunikasi yang sama di antara anggota – anggota yang memiliki latar belakang sama dan mempengaruhi komunikasi di antara anggota – anggota daerah dan etnis yang berbeda.

Perusahaan – perusahaan yang memiliki cabangnya di luar negeri, tentunya merupakan syarat mutlak bagi para karyawannya untuk memiliki bekal pengetahuan yang cukup mengenai situasi dan kondisi budaya yang akan dihadapinya (intercultural competence), salah – salah jika mereka gagal berkomunikasi dengan budaya yang dihadapinya, perusahaan hanya akan bertahan dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama.

Tujuan Komunikasi Antar Budaya adalah :
·         Memahami perbedaan budaya yang mempengaruhi praktik komunikasi
·         Mengkomunikasi antar orang yang berbeda budaya
·         Mengidentifikasikan kesulitan – kesulitan yang muncul dalam komunikasi
·         Membantu mengatasi masalah komunikasiyang disebabkan oleh perbedaan budaya
·         Meningkatan ketrampilan verbal dan non verbal dalam komunikasi
·         Menjadikan kita mampu berkomunikasi secara efektif

Hakikat Komunikasi Antarbudaya
a.       Enkulturasi
Enkulturasi mengacu pada proses dengan mana kultur ditransmisikan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Kita mempelajari kultur, bukan mewarisinya. Kultur ditransmisikan melalui proses belajar, bukan melalui gen. Orang tua, kelompok, teman, sekolah, lembaga ke-agamaan, dan lembaga pemerintahan merupakan guru-guru utama dibidang kultur. Enkulturasi terjadi melalui mereka.

b.      Akulturasi
Akulturasi mengacu pada proses dimana kultur seseorang dimodifikasi melalui kontak atau pemaparan langsung dengan kultur lain. Misalnya, bila sekelompok imigran emudian berdiam di AS (kultur tuan rumah), kultur mereka sendiri akan dipengaruhi oleh kultur tuan rumah ini. Berangsur-angsur, nilai-nilai, cara berperilaku, serta kepercayaan dari kultur tuan rumah akan menjadi bagian dari kultur kelompok imigran itu. Pada waktu yang sama, kultur tuan rumah pun ikut berubah.

B.     Budaya Siber : Internet dan Interaksi Simbolik
Budaya Sibermerupakan sebuah budaya yang lahir dari interaksi antara manusia dengan internet.cyberculture sebagai cara berpikir tentang bagaimana orang dan teknologi digital berinteraksi, bagaimana kita hidup bersama. Kerangka berpikir Bell justru lebih khusus dimana ruang maya dimanfaatkan antar individu sebagai wadah untuk membicarakan cara bagaimana mereka memenuhi kebutuhan hidup.

Cyberculture adalah budaya yang telah muncul, atau terbentuk dari penggunaan jaringan komputer untuk komunikasi, hiburan, dan bisnis. Itu juga merupakan studi tentang berbagai fenomena sosial yang terkait dengan internet dan bentuk-bentuk baru lain dari komunikasi jaringan, seperti komunitas online, secara online multi-player game, game sosial, media sosial, augmented reality, dan SMS, dan mencakup masalah-masalah yang berkaitan dengan identitas, privasi, dan pembentukan jaringan.

identitas baru dalam cyberculture berbeda dengan identitas didunia nyata. Identitas didunia maya, tidak lebih dibatasi oleh kulit atau tubuh. Mereka disebarluarkan, tersebar, dan ditambahkan melalui koneksi difasilitasi dan tidak terbatas pada  tubuhnya.
a.       Internet
Internet, mengutip penjelasan Hine (2007), bias didekatidalam dua aspek, yakni internet sebagai kultur (budaya) dan internet sebagai artefak kultural (peninggalan kebudayaan).Perbedaan ini berimplikasi khususnya untuk para peneliti etnografi kepada perbedaan metodelogi dalam penelitian di suatu sisi maupun secara tegas memaparkan keuntungan maupun kelemahan disisi lain.

Sebagai sebuah budaya (culture), pada awalnya internet merupakan model komunikasi yang sederhana bila dibandingkan dengan model komunikasi secara langsung atau face to face (Baym, 1998). Bahwa interaksi face to face tidak hanya melibatkan teks sebagai symbol atau tanda yang berinteraksi semata.Ekspresi wajah, tekanan suara, cara memandang, posisi tubuh, agama, usia, ras dan sebagainya ini merupakan tanda-tanda yang juga berperan dalam interaksi antar individu. Adapun komunikasi termediasi computer (computer mediated communication) interaksi terjadi berdasarkan teks semata bahkan emosi pun ditunjukan dengan menggunakan teks, yakni dengan symbol-simbol emoticon.

b.      Interaksi Simbolik
Interaksi simbolik merupakan salah satu pendekata yeng bias di lakukan dengan cultural studies. Menurut ( Norman Danzin, 1912:34) menekan kan bahwa semestinya kajian terhadap interaksi simbolik memainkan peranan penting dalam cultural studies  yang memusatkan perhatian pada tiga masalh yang terkait satu dengan lainya, yakni produksi makna kultural, analisis makna makna dan studi kebudayaan yang di jalani dan pengalaman yang di jalani. Namun dalam tataran praktis Denzin melihat adanya kecenderungan dari intraksionisme simbolik untuk mengabaikan gagasan yang menghubungkan “symbol” dan :interaksi’.

c.       Perspektif
Dalam perspektif cultural studies, internet merupakan ruang dimana kultur  yang terjadi itu diproduksi, didistribusikan, dan dikonsumsi. Sebagaimana sifat dasar perspektif ini yang mengaburkan kelas-kelas sebagai sebuah strata yang ada di tengah masyarakat, cultural studies memberikan semacam perlawanan dari sebuah kemampanan strukturasi kelas sosial. Gerakan-gerakan sosial seperti feminisme menandakan bahwa sebuah kultur tidak hanya diciptakan oleh kelas tertentu, dalam pandangan Marx misalnya oleh kaum borjuis, namun bisa dihasilkan oleh masyarakat bahkan individu yang merupakan agen-agen sosial (Mosco, 1996:251).

Jika memakai term ekonomi-politik, maka kultur merupakan komoditas yang diproduksi. Artinya, pendekatan cultural studies dalam melihat budaya siber yang ada di internet memberikan arah untuk melihat bagaimana proses komodifikasi itu terjadi di ruang virtual; dengan tentu saja mengabaikan kajiannya berdasarkan perdedaan kelas hingga hubungan pekerja-pemodal sebagaimana hal ini menjadi sentral awal diskursus tentang ekonomi-politik (hlm.252).

Jika ekonomi-politik mengawali pembahasannya melalui “macrosocial organization of power” atau organisasi kekuasaan, maka cultural studies mendekatinya melalui “local organization of power” dimana kekuasaan itu berada didalam diri subyek atau individu itu sendiri (intersubjective). Bagi Mosco, fokus dari cultural studies  terletak pada teks sebagai salah satu titik awal untuk melihat bagaimana fenomena sosial itu terjadi.

C.    Masyarakat Jejaring
Barangkali tidak banyak yang menyadari bahwa jejaring sosial (social networking) adalah sebuah masyarakat.Dalam sosiologi, masyarakat didefinisikan sebagai: kumpulan dari beberapa atau banyak individu yang melakukan interaksi dengan aturan tertentu.Kalau kita perhatikan syarat sederhana tadi,jejaring sosial sudah memenuhi kriteria layak disebut sebagai masyarakat.Masyarakat dalam jejaring sosial agak berbeda dengan masyarakat pada umumnya karena tidak dibatasi oleh faktor geografis.Dengan kata lain facebook atau twitter memiliki karakteristik sendiri, yakni dunia maya.Sebuah perwujudan yang mengabaikan faktor ruang, meski masih dibatasi oleh waktu.

Jejaring sosial dalam perwujudannya di dunia maya juga melakukan interaksi.Dengan facebook atau twitter, masyarakat ternyata mampu melakukan hal-hal yang juga dilakukan oleh masyarakat konvensional.Misalnya:berbisnis, saling tukar informasi, melakukan perkenalan, bertemu dengan teman lama dan masih banyak lagi yang dapat dilakukan.Masyarakat dalam jejaring sosial oleh media sering dijadikan sebagai bahan dalam pemberitaan.Kasus Prita dan Bibit-Candra misalnya, merupakan contoh yang pernah diolah oleh media, yang akhirnya mempengaruhi kebijakan penegak hukum dalam mengambil kebijakan atas keduanya.

Dengan kamajuan teknologi , masyarakat dalam facebook atau twitter lambat laun akan membentuk kebiasaan yang dinamakan budaya atau kebudayaan.Dalam bentuk yang lain, tidak seperti budaya sebelumnya.Bahkan, pola yang ada dalam masyarakat konvensional sejak lama dapat dirubah dengan melakukan interaksi manggunakan provider jejaring sosial.Ditambah lagi pola interaksi masyarakat konvensional yang sudah mengalami banyak kendala sekaligus hambatan.Persoalan kemacetan di jalan salah satunya.Meskipun sekarang baru mendominasi kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya atau Medan, nantinya juga akan menimpa kota-kota lain di Indonesia.Kemacetan merupakan persoalan seruis dalam negara.Akibat kemacetan, roda perekonomian maupun pemerintahan sangat terganggu.Kecepatan dan ketepatan waktu sering terbuang sia-sia dengan adanya kemacetan.

Komunitas virtual adalah kumpulan pengguna user yang di bentuk secara online yang masing-masing menggunakan identitas nyata atau rekaan (avatar) serta informasi online tertentu untuk melakukan komunikasi atau interaksi secara terus-menerus melalui mediasi jaringan komputer.Dari komunitas ini tentu saling berinteraksi dan berkomunikasi, dan pada akhirnya dari interaksi inilah muncul sebuahkebudayaan siber atau cyber culture.

D.    Komodifikasi Budaya Siber
Terkait dengan komodifikasi yang terjadi di media, Mosco memformulasikan tiga bentuk komodifikasi, yakni komodifikasi isi, komodifikasi khalayak, dan komodifikasi pekerja.

1.      Komodifikasi isi (content)
Komodifikasi isi menjelaskan bagaimana konten atau isi media yang diproduksi merupakan komoditas yang ditawarkan. Proses komodifikasi ini berawal dengan mengubah data-data menjadi sistem makna oleh pelaku media menjadi sebuah produk yang akan dijual kepada konsumen, khalayak maupun perusahaan pengiklan (hlm.146-147). Artinya, media tidak hanya berhenti pada proses pembentukan kultur semata melalui konten yang didistribusikan, melainkan juga menjadikan budaya itu sebagai sebuah komoditas yang bisa dijual.

Sejalan dengan konteks ini, Adorno dan Hokheimer menyodorkan tesis tentang industri budaya. Bahwa media dan hiburan yang disajikan melalui media massa pada dasarnya telah menjadi industri di era kapitalisme pasca-Perang Dunia ke-2 baik dalam mensirkulasikan komoditas budaya maupun dalam memanipulasi kesadaran manusia (Hokheimer dan Adorno, 1972 dalam Agger 2009:180). Industri budaya pada dasarnya juga menjelaskan bagaimana budaya menjadi sesuatu yang memanipulasi kesadaran manusia. Budaya pop, sebagaimana dicontohkan Hokheimer dan Adorno, bukanlah menjadi media akhir  dan paling tinggi  yang bisa digunakan untuk melakukan perlawanan terhadap hegemoni kapitalis sebagaimana diulas oleh Marx, melainkan budaya pop itu sendiri mengandung iklan dan hiburan yang diberikan kepada khalayak hanya sebagai kedok untuk menutupi aktivitas kapital melalui media massa (hlm.182-183).

2.      Komodifikasi khalayak
Dengan memakai wacana yang dipopulerkan oleh Smythe (1977) dalam the audience commodity, komodifikasi khalayak ini menjelaskan bagaimana sebenarnya khalayak tidak secara bebas hanya sebagai penikmat dan konsumen dari budaya yang didisytribusikan melalui media.Khalayak pada dasarnya merupakan entitas komoditi itu sendiri yang bisa dijual. Sebagai misal, dalam industri media massa saat ini, dicontohkan Smythe dengan berbagai program acara di industri pertelevisian, ada tiga entitas yang saling mempengaruhi yakni perusahaan media, pengiklan, dan khalayak itu sendiri.

Khalayak mendapatkan program tayangan yang dapat menghibur hingga memberikan informasi secara gratis dari perusahaan televisi.Perusahaan media membuat program untuk disaksikan oleh khalayak dan selanjutnya jumlah khalayak yang menonton dan juga waktu yang disediakan untuk menonton inilah yang dijual kepada pihak pengiklan. Sementara pengiklan membayar biaya iklan produk mereka dan menayangkan melalui media dengan harapan mendapatkan perhatian khalayak yang pada akhirnya khalayak akan menggunakan produk tersebut.

3.      Komodifikasi pekerja (labour).
Bahwa perusahaan media massa pada kenyataannya tak berbeda dengan pabrik-pabrik. Para pekerja tidak hanya memproduksi konten dan mendapatkan penghargaan terhadap upaya menyenangkan khalayak melalui konten tersebut, melainkan juga menciptakan khalayak sebagai pekerja yang terlibat dalam mendistribusikan konten sebagai sebuah komoditas (Mosco, 1996:158).

Kemajuan teknologi informasi merupakan salah satu contoh bagaimana tanpa sadar khalayak juga mentransformasikan dirinya tidak sekadar menjadi konsumen atau objek komoditas kepada pengiklan, melainkan juga sudah menjadi produsen dalam industri budaya. Fenomena user content generated di internet menjelaskan bagaimana khalayak memproduksi konten media dan sekaligus mendistribusikan serta menjadi konsumen dari konten tersebut. Misalnya, kehadiran informasi pengguna seperti status, foto, dan sebagainya yang ada social media seperti Facebook atau Twitter.Informasi inilah yang didistribusikan dan bisa dikonsumsi oleh khalayak yang terkoneksi ke social media tersebut dan pada akhirnya melalui simulasi jejaring khalayak yang pada mulanya menjadi konsumen perlahan berubah menjadi produsen.




















BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Melakukan perubahan kebudayaan merupakan hal yang sulit, namun bukan hal yang tidak mungkin.Selama kita berusaha untuk merubah, maka hal itu pasti dapat terlaksana.Maka bukan hal yang tidak mungkin jika kelak bangsa Indonesia dapat ikut berperan dalam pembentukan kebudayaan baru, yaitu Kebudayaan Cyber.

Ternyata kesiapan ini yang belum dimiliki oleh sebagian besar orang yang ada di Indonesia.Identitas moral dan spiritualitas, mulai pudar.Krisis moralpun mulai menjadi alasan kuat, sebagai kambing hitam atas penerapan teknologi informasi dan komunikasi.
Share:
Location: Banda Aceh, Banda Aceh City, Aceh, Indonesia

Related Posts:

1 comment:

  1. Your Affiliate Money Making Machine is ready -

    Plus, making profit with it is as easy as 1 . 2 . 3!

    This is how it works...

    STEP 1. Choose which affiliate products you want to promote
    STEP 2. Add some push button traffic (this LITERALLY takes 2 minutes)
    STEP 3. See how the affiliate products system explode your list and sell your affiliate products on it's own!

    Are you ready to make money ONLINE?

    Click here to launch the system

    ReplyDelete