BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Komunikasi
antar budaya adalah komunikasi yang terjadi di antara orang-orang yang memiliki
kebudayaan yang berbeda (bisa beda ras, etnik, atau sosioal ekonomi, atau gabungan dari semua
perbedaan ini). Kebudayaan adalah cara hidup yang berkembang dan dianut oleh
sekelompok orang serta berlangsung dari generasi ke generasi.
Dalam perspektif cultural studies, internet merupakan
ruang dimana kultur yang terjadi itu
diproduksi, didistribusikan, dan dikonsumsi. Sebagaimana sifat dasar perspektif
ini yang mengaburkan kelas-kelas sebagai sebuah strata yang ada di tengah
masyarakat, cultural studies memberikan semacam perlawanan dari sebuah
kemampanan strukturasi kelas sosial. Gerakan-gerakan sosial seperti feminisme
menandakan bahwa sebuah kultur tidak hanya diciptakan oleh kelas tertentu,
dalam pandangan Marx misalnya oleh kaum borjuis, namun bisa dihasilkan oleh
masyarakat bahkan individu yang merupakan agen-agen sosial (Mosco, 1996:251).
Jika memakai istilah ekonomi-politik, maka kultur
merupakan komoditas yang diproduksi. Artinya, pendekatan cultural studies dalam
melihat budaya siber yang ada di internet memberikan arah untuk melihat
bagaimana proses komodifikasi itu terjadi di ruang virtual; dengan tentu saja
mengabaikan kajiannya berdasarkan perdedaan kelas hingga hubungan
pekerja-pemodal sebagaimana hal ini menjadi sentral awal diskursus tentang
ekonomi-politik (hlm.252). Jika ekonomi-politik mengawali pembahasannya melalui
“macrosocial organization of power” atau organisasi kekuasaan, maka cultural
studies mendekatinya melalui “local organization of power” dimana kekuasaan itu
berada didalam diri subyek atau individu itu sendiri (intersubjective). Bagi
Mosco, fokus dari cultural studies
terletak pada teks sebagai salah satu titik awal untuk melihat bagaimana
fenomena sosial itu terjadi.
McQuail menegaskan bahwa ada hubungan antara
ekonomi-politik dan budaya di media. Aspek ekonomi-politik memainkan peran dari
pengaturan produksi budaya yang terjadi di industri media massa sebagai
‘industri dengan kesadaran’. Media pada dasarnya merupkan institusi yang
disetir oleh logika ekonomi sampai pada perubahan budaya. Aspek penting dalam
pemikiran McQuail ini adalah komodifikasi budaya dalam bentuk ‘perangkat lunak’
yang diproduksi oleh dan untuk ‘perangkat keras’ komunikasi yang keduanya
dijual dalam pasar yang lebih luas.
A.
Rumusan
Masalah
a. Bagaimana proses terbentuknya komunikasi antar budaya
di era budaya siber?
b. Bagaimana dampak negative dari budaya siber?
c. Bagaimana pengaruh internet terhadap budaya siber
tersebut?
B.
Tujuan
Tujuan penulisan
makalah ini adalah
untuk mengetahui bagaimana proses
terbentuknya komunikasi antar budaya di era budaya siber, sehingga memudahkan
khalyak untuk mempelajari lebih lanjut tentang budaya siber tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Komunikasi
AntarBudaya
Komunikasi
antarbudaya adalah komunikasi yang terjadi di antara orang-orang yang memiliki
kebudayaan yang berbeda (bisa beda ras, etnik, atau sosioekonomi, atau gabungan
dari semua perbedaan ini). Kebudayaan adalah cara hidup yang berkembang dan
dianut oleh sekelompok orang serta berlangsung dari generasi ke generasi.
McLuhan
(dalam Infante et.al, 1990 : 371) menyatakan bahwa dunia saat ini telah menjadi
“Global Village” yang mana kita mengetahui orang dan peristiwa yang terjadi di
negara lain hampir sama seperti layaknya seorang warga negara dalam sebuah desa
kecil yang menjadi tetangga negara – negara lainnya.
Perubahan
sosial adalah hal lain yang berpengaruh dalam komunikasi antar budaya adalah
dengan makin banyaknya perayaan - perayaaan budaya sebuah etnis dalam sebuah
negara.
Perbedaan
budaya dalam sebuah negara menciptakan keanekaragaman pengalaman, nilai, dan
cara memandang dunia. Keanekaragaman tersebut menciptakan pola – pola
komunikasi yang sama di antara anggota – anggota yang memiliki latar belakang
sama dan mempengaruhi komunikasi di antara anggota – anggota daerah dan etnis
yang berbeda.
Perusahaan
– perusahaan yang memiliki cabangnya di luar negeri, tentunya merupakan syarat
mutlak bagi para karyawannya untuk memiliki bekal pengetahuan yang cukup
mengenai situasi dan kondisi budaya yang akan dihadapinya (intercultural
competence), salah – salah jika mereka gagal berkomunikasi dengan budaya yang
dihadapinya, perusahaan hanya akan bertahan dalam jangka waktu yang tidak
terlalu lama.
Tujuan
Komunikasi Antar Budaya adalah :
·
Memahami perbedaan budaya yang
mempengaruhi praktik komunikasi
·
Mengkomunikasi antar orang yang berbeda
budaya
·
Mengidentifikasikan kesulitan –
kesulitan yang muncul dalam komunikasi
·
Membantu mengatasi masalah
komunikasiyang disebabkan oleh perbedaan budaya
·
Meningkatan ketrampilan verbal dan non
verbal dalam komunikasi
·
Menjadikan kita mampu berkomunikasi
secara efektif
Hakikat
Komunikasi Antarbudaya
a.
Enkulturasi
Enkulturasi mengacu pada proses dengan mana kultur
ditransmisikan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Kita mempelajari
kultur, bukan mewarisinya. Kultur ditransmisikan melalui proses belajar, bukan melalui
gen. Orang tua, kelompok, teman, sekolah, lembaga ke-agamaan, dan lembaga
pemerintahan merupakan guru-guru utama dibidang kultur. Enkulturasi terjadi
melalui mereka.
b.
Akulturasi
Akulturasi mengacu pada proses dimana kultur
seseorang dimodifikasi melalui kontak atau pemaparan langsung dengan kultur
lain. Misalnya, bila sekelompok imigran emudian berdiam di AS (kultur tuan
rumah), kultur mereka sendiri akan dipengaruhi oleh kultur tuan rumah ini.
Berangsur-angsur, nilai-nilai, cara berperilaku, serta kepercayaan dari kultur
tuan rumah akan menjadi bagian dari kultur kelompok imigran itu. Pada waktu
yang sama, kultur tuan rumah pun ikut berubah.
B. Budaya
Siber : Internet dan Interaksi Simbolik
Budaya Sibermerupakan sebuah budaya yang lahir dari
interaksi antara manusia dengan internet.cyberculture sebagai cara berpikir
tentang bagaimana orang dan teknologi digital berinteraksi, bagaimana kita
hidup bersama. Kerangka berpikir Bell justru lebih khusus dimana ruang maya
dimanfaatkan antar individu sebagai wadah untuk membicarakan cara bagaimana
mereka memenuhi kebutuhan hidup.
Cyberculture adalah budaya yang telah muncul, atau
terbentuk dari penggunaan jaringan komputer untuk komunikasi, hiburan, dan
bisnis. Itu juga merupakan studi tentang berbagai fenomena sosial yang terkait
dengan internet dan bentuk-bentuk baru lain dari komunikasi jaringan, seperti
komunitas online, secara online multi-player game, game sosial, media sosial,
augmented reality, dan SMS, dan mencakup masalah-masalah yang berkaitan dengan identitas,
privasi, dan pembentukan jaringan.
identitas baru dalam cyberculture berbeda dengan
identitas didunia nyata. Identitas didunia maya, tidak lebih dibatasi oleh
kulit atau tubuh. Mereka disebarluarkan, tersebar, dan ditambahkan melalui
koneksi difasilitasi dan tidak terbatas pada
tubuhnya.
a.
Internet
Internet, mengutip penjelasan Hine (2007), bias
didekatidalam dua aspek, yakni internet sebagai kultur (budaya) dan internet
sebagai artefak kultural (peninggalan kebudayaan).Perbedaan ini berimplikasi
khususnya untuk para peneliti etnografi kepada perbedaan metodelogi dalam
penelitian di suatu sisi maupun secara tegas memaparkan keuntungan maupun
kelemahan disisi lain.
Sebagai sebuah budaya (culture), pada awalnya internet
merupakan model komunikasi yang sederhana bila dibandingkan dengan model
komunikasi secara langsung atau face to face (Baym, 1998). Bahwa interaksi face
to face tidak hanya melibatkan teks sebagai symbol atau tanda yang berinteraksi
semata.Ekspresi wajah, tekanan suara, cara memandang, posisi tubuh, agama,
usia, ras dan sebagainya ini merupakan tanda-tanda yang juga berperan dalam
interaksi antar individu. Adapun komunikasi termediasi computer (computer
mediated communication) interaksi terjadi berdasarkan teks semata bahkan emosi
pun ditunjukan dengan menggunakan teks, yakni dengan symbol-simbol emoticon.
b.
Interaksi
Simbolik
Interaksi simbolik merupakan salah satu pendekata yeng
bias di lakukan dengan cultural studies. Menurut
( Norman Danzin, 1912:34) menekan kan bahwa semestinya kajian terhadap
interaksi simbolik memainkan peranan penting dalam cultural studies yang
memusatkan perhatian pada tiga masalh yang terkait satu dengan lainya, yakni
produksi makna kultural, analisis makna makna dan studi kebudayaan yang di
jalani dan pengalaman yang di jalani. Namun dalam tataran praktis Denzin
melihat adanya kecenderungan dari intraksionisme simbolik untuk mengabaikan
gagasan yang menghubungkan “symbol” dan :interaksi’.
c.
Perspektif
Dalam perspektif cultural studies, internet merupakan
ruang dimana kultur yang terjadi itu
diproduksi, didistribusikan, dan dikonsumsi. Sebagaimana sifat dasar perspektif
ini yang mengaburkan kelas-kelas sebagai sebuah strata yang ada di tengah
masyarakat, cultural studies memberikan semacam perlawanan dari sebuah
kemampanan strukturasi kelas sosial. Gerakan-gerakan sosial seperti feminisme
menandakan bahwa sebuah kultur tidak hanya diciptakan oleh kelas tertentu,
dalam pandangan Marx misalnya oleh kaum borjuis, namun bisa dihasilkan oleh
masyarakat bahkan individu yang merupakan agen-agen sosial (Mosco, 1996:251).
Jika memakai term ekonomi-politik, maka kultur
merupakan komoditas yang diproduksi. Artinya, pendekatan cultural studies dalam
melihat budaya siber yang ada di internet memberikan arah untuk melihat
bagaimana proses komodifikasi itu terjadi di ruang virtual; dengan tentu saja
mengabaikan kajiannya berdasarkan perdedaan kelas hingga hubungan pekerja-pemodal
sebagaimana hal ini menjadi sentral awal diskursus tentang ekonomi-politik
(hlm.252).
Jika ekonomi-politik mengawali pembahasannya melalui
“macrosocial organization of power” atau organisasi kekuasaan, maka cultural
studies mendekatinya melalui “local organization of power” dimana kekuasaan itu
berada didalam diri subyek atau individu itu sendiri (intersubjective). Bagi
Mosco, fokus dari cultural studies
terletak pada teks sebagai salah satu titik awal untuk melihat bagaimana
fenomena sosial itu terjadi.
C. Masyarakat
Jejaring
Barangkali tidak banyak yang menyadari bahwa jejaring
sosial (social networking) adalah sebuah masyarakat.Dalam sosiologi, masyarakat
didefinisikan sebagai: kumpulan dari beberapa atau banyak individu yang
melakukan interaksi dengan aturan tertentu.Kalau kita perhatikan syarat
sederhana tadi,jejaring sosial sudah memenuhi kriteria layak disebut sebagai
masyarakat.Masyarakat dalam jejaring sosial agak berbeda dengan masyarakat pada
umumnya karena tidak dibatasi oleh faktor geografis.Dengan kata lain facebook
atau twitter memiliki karakteristik sendiri, yakni dunia maya.Sebuah perwujudan
yang mengabaikan faktor ruang, meski masih dibatasi oleh waktu.
Jejaring sosial dalam perwujudannya di dunia maya juga
melakukan interaksi.Dengan facebook atau twitter, masyarakat ternyata mampu
melakukan hal-hal yang juga dilakukan oleh masyarakat
konvensional.Misalnya:berbisnis, saling tukar informasi, melakukan perkenalan,
bertemu dengan teman lama dan masih banyak lagi yang dapat dilakukan.Masyarakat
dalam jejaring sosial oleh media sering dijadikan sebagai bahan dalam
pemberitaan.Kasus Prita dan Bibit-Candra misalnya, merupakan contoh yang pernah
diolah oleh media, yang akhirnya mempengaruhi kebijakan penegak hukum dalam
mengambil kebijakan atas keduanya.
Dengan kamajuan teknologi , masyarakat dalam facebook
atau twitter lambat laun akan membentuk kebiasaan yang dinamakan budaya atau
kebudayaan.Dalam bentuk yang lain, tidak seperti budaya sebelumnya.Bahkan, pola
yang ada dalam masyarakat konvensional sejak lama dapat dirubah dengan
melakukan interaksi manggunakan provider jejaring sosial.Ditambah lagi pola
interaksi masyarakat konvensional yang sudah mengalami banyak kendala sekaligus
hambatan.Persoalan kemacetan di jalan salah satunya.Meskipun sekarang baru
mendominasi kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya atau Medan, nantinya juga
akan menimpa kota-kota lain di Indonesia.Kemacetan merupakan persoalan seruis
dalam negara.Akibat kemacetan, roda perekonomian maupun pemerintahan sangat
terganggu.Kecepatan dan ketepatan waktu sering terbuang sia-sia dengan adanya
kemacetan.
Komunitas virtual adalah kumpulan pengguna user yang
di bentuk secara online yang masing-masing menggunakan identitas nyata atau
rekaan (avatar) serta informasi online tertentu untuk melakukan komunikasi atau
interaksi secara terus-menerus melalui mediasi jaringan komputer.Dari komunitas
ini tentu saling berinteraksi dan berkomunikasi, dan pada akhirnya dari
interaksi inilah muncul sebuahkebudayaan siber atau cyber culture.
D.
Komodifikasi
Budaya Siber
Terkait dengan komodifikasi yang terjadi di media,
Mosco memformulasikan tiga bentuk komodifikasi, yakni komodifikasi isi,
komodifikasi khalayak, dan komodifikasi pekerja.
1.
Komodifikasi
isi (content)
Komodifikasi isi menjelaskan bagaimana konten atau isi
media yang diproduksi merupakan komoditas yang ditawarkan. Proses komodifikasi
ini berawal dengan mengubah data-data menjadi sistem makna oleh pelaku media
menjadi sebuah produk yang akan dijual kepada konsumen, khalayak maupun
perusahaan pengiklan (hlm.146-147). Artinya, media tidak hanya berhenti pada
proses pembentukan kultur semata melalui konten yang didistribusikan, melainkan
juga menjadikan budaya itu sebagai sebuah komoditas yang bisa dijual.
Sejalan dengan konteks ini, Adorno dan Hokheimer
menyodorkan tesis tentang industri budaya. Bahwa media dan hiburan yang
disajikan melalui media massa pada dasarnya telah menjadi industri di era
kapitalisme pasca-Perang Dunia ke-2 baik dalam mensirkulasikan komoditas budaya
maupun dalam memanipulasi kesadaran manusia (Hokheimer dan Adorno, 1972 dalam
Agger 2009:180). Industri budaya pada dasarnya juga menjelaskan bagaimana
budaya menjadi sesuatu yang memanipulasi kesadaran manusia. Budaya pop,
sebagaimana dicontohkan Hokheimer dan Adorno, bukanlah menjadi media akhir dan paling tinggi yang bisa digunakan untuk melakukan
perlawanan terhadap hegemoni kapitalis sebagaimana diulas oleh Marx, melainkan
budaya pop itu sendiri mengandung iklan dan hiburan yang diberikan kepada
khalayak hanya sebagai kedok untuk menutupi aktivitas kapital melalui media
massa (hlm.182-183).
2.
Komodifikasi
khalayak
Dengan memakai wacana yang dipopulerkan oleh Smythe
(1977) dalam the audience commodity, komodifikasi khalayak ini menjelaskan
bagaimana sebenarnya khalayak tidak secara bebas hanya sebagai penikmat dan
konsumen dari budaya yang didisytribusikan melalui media.Khalayak pada dasarnya
merupakan entitas komoditi itu sendiri yang bisa dijual. Sebagai misal, dalam
industri media massa saat ini, dicontohkan Smythe dengan berbagai program acara
di industri pertelevisian, ada tiga entitas yang saling mempengaruhi yakni
perusahaan media, pengiklan, dan khalayak itu sendiri.
Khalayak mendapatkan program tayangan yang dapat
menghibur hingga memberikan informasi secara gratis dari perusahaan
televisi.Perusahaan media membuat program untuk disaksikan oleh khalayak dan
selanjutnya jumlah khalayak yang menonton dan juga waktu yang disediakan untuk
menonton inilah yang dijual kepada pihak pengiklan. Sementara pengiklan
membayar biaya iklan produk mereka dan menayangkan melalui media dengan harapan
mendapatkan perhatian khalayak yang pada akhirnya khalayak akan menggunakan
produk tersebut.
3.
Komodifikasi
pekerja (labour).
Bahwa perusahaan media massa pada kenyataannya tak
berbeda dengan pabrik-pabrik. Para pekerja tidak hanya memproduksi konten dan
mendapatkan penghargaan terhadap upaya menyenangkan khalayak melalui konten
tersebut, melainkan juga menciptakan khalayak sebagai pekerja yang terlibat
dalam mendistribusikan konten sebagai sebuah komoditas (Mosco, 1996:158).
Kemajuan teknologi informasi merupakan salah satu
contoh bagaimana tanpa sadar khalayak juga mentransformasikan dirinya tidak
sekadar menjadi konsumen atau objek komoditas kepada pengiklan, melainkan juga
sudah menjadi produsen dalam industri budaya. Fenomena user content generated
di internet menjelaskan bagaimana khalayak memproduksi konten media dan
sekaligus mendistribusikan serta menjadi konsumen dari konten tersebut.
Misalnya, kehadiran informasi pengguna seperti status, foto, dan sebagainya
yang ada social media seperti Facebook atau Twitter.Informasi inilah yang
didistribusikan dan bisa dikonsumsi oleh khalayak yang terkoneksi ke social
media tersebut dan pada akhirnya melalui simulasi jejaring khalayak yang pada
mulanya menjadi konsumen perlahan berubah menjadi produsen.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Melakukan perubahan kebudayaan merupakan hal yang
sulit, namun bukan hal yang tidak mungkin.Selama kita berusaha untuk merubah,
maka hal itu pasti dapat terlaksana.Maka bukan hal yang tidak mungkin jika
kelak bangsa Indonesia dapat ikut berperan dalam pembentukan kebudayaan baru,
yaitu Kebudayaan Cyber.
Your Affiliate Money Making Machine is ready -
ReplyDeletePlus, making profit with it is as easy as 1 . 2 . 3!
This is how it works...
STEP 1. Choose which affiliate products you want to promote
STEP 2. Add some push button traffic (this LITERALLY takes 2 minutes)
STEP 3. See how the affiliate products system explode your list and sell your affiliate products on it's own!
Are you ready to make money ONLINE?
Click here to launch the system