Tuesday, April 11, 2017

Penyiaran Dalam Pembangunan Negara Antara Kebebasan dan Regulasi

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Para penganalisis ilmu sosial meneliti persoalaan-persoalan yang berkaitan dengan pembangunan negara, seringkali media penyiaran dijadikan bahan pembahasan. Banyak para pakar sains sosial mengatakan bahwa media penyiaran sebagai alat pembangunan negara. Sebab media penyiaran sebagai salah satu variabel yang turut bertanggungjawab dalam mengubah corak warna kehidupan sosial. Misalnya, sebagai media literasi, sosialisasi, informasi dan sebagai media pembelajaran lainnya. Media penyiaran mampu berfungsi sebagai alat yang membantu mempercepatkan proses pembangunan bik dari strategi suka membaca. 
Negara berkembang baru dibentuk apabila penduduknya telah mula berubah secara amat kuat daripada masyarakat praindustri kepada masyarakat modern. Ada kalanya masalah yang dihadapi oleh negara berkembang  ini kelihatannya hampir tidak dapat diselesaikan karena negara-negara ini berusaha dalam jangka masa yang pendek untuk mencapai perubahan dari politik, sosial, dan ekonomi. Adakalanya juga, negara berkembang ingin menjadi kepada negara industri. Untuk mencapai status negara industri ini, negara berkembbang memerlukan waktu yang cukup lama. Pembangunan seperti ini bukanlah tidak mungkin, tetapi memerlukan waktu yang cukup lama. Pembangunan seperti ini bukanlah tidak mungkin, tetapi memerlukan kesabaran disebabkan memakan masa yang lama. Namun penerima perubahan sosial dan pembangunan kebangsaan menguraikan masa depan negara-negara berkembang dengan sikap optimis dan terkawal, sebagian besarnya dicirikan kepada peranan yang dimainkan oleh media komunikasi seperti media penyiaran dalam pembangunan negara.
B.     Rumusa Masalah
1.      Apa pengertian dari penyiaran dalam pembangunan negara?
2.      Apa karakteristik dari negara berkembang?
3.      Bagaimana konsep dan teori perubahan masyarakat?
4.      Bagaimana konsep media pembangunan?
5.      Bagaimana penyiaran di negara berkembang?
6.      Bagaimana kebebasan dan regulasi penyiaran dalan pembangunan negara?

BAB II
PEMBAHASAN
1.      Pengertian penyiaran dalam pembangunan negara
Kata ‘siaran’ merupakan padanan dari kata broadcast dalam bahasa Inggris.Undang-undang Penyiaran memberikan pengertian siaran sebagai pesan atau rangkaian pesan dalam bentuk suara,  gambar, atau suara dan gambar atau yang berbentuk grafis, karakter, baik yang bersifat interaktif maupun tidak, yang dapat diterima melalui perangkat penerima siaran. Sementara penyiaran yang merupakan padanan kata broadcasting memiliki pengertian sebagai : kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran dan/atau sarana transmisi di darat, di laut atau di antariksa dengan menggunakan spektrum frekuensi radio (sinyal radio) yang berbentuk gelombang elektromagnetik yang merambat melalui udara, kabel, dan atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan  perangkat penerima siaran. Pada sisi lain
Broadcasting mengandung makna “ a medium that disseminates via telecommunications atau taking part in a radio or tv program” , sehingga broadcasting dapat didefinisikan sebagai penyebarluasan informasi berupa gambar bergerak dan suara serta multimedia melalui media elektronik . Beberapa definisi lain menyebutkan bahwa pengertian broadcasting adalah distribusi audio dan / atau video yang mengirimkan sinyal program untuk penonton.
            Penyiaran berperan dalam pembangunan sebuah negara, hal ini bisa dilihat dari fungsi sebuah penyiaran tersebut dimana mayoritas lembaga penyiaran bertujuan untuk mendapatkan profit atau aset yang mana secara tidak langsung berhubungan dengan mapannya perekonomian sebuah negara. Seperti contoh negara maju 30% pendapatan negaranya diperoleh dari pajak lembaga penyiaran tersebut. Karena fungsi penyiaran tidak hanya sebagai sumber informasi melainkan sebagai sumber pendapatan melalui periklanan dan marketing.

2.      Karakteristik negara Berkembang
Salah satu peristiwa yang sangat berarti  dalam pertengahan abad ke-20 adalah kemunculan negara-negara berkembang baik di Asia, Afrika, Amerika latin maupun di negara-negara lain. Disebutkan negara berkembang adalah negara bekas jajahan , kebanyakan berada di kawasan benua Asia, Afrika, dan Amerika latin. Lahir sebagai negara nerdeka setelah Perang Dunia II. Sistem politiknya biasanya mengikut atau meneruskan sistem politik negara penjajah dengan ada sedikit perubahan mengikut kepada sosio-budaya dan ekonomi masyarakat. Namun ada juga diantaraa negara berkembang melakukan perubahan secara keseluruhan disebabkan oleh sistem politik negara penjajah sudah tidak sesuai dalam konteks masyarakat dan aspirasi perjuangan sebelum kemerdekaan.
Dari segi penduduk, negara berkembang mempunyai masyarakat kurang berminat terhadap membaca disebabkan masih lemah pendidikan yang ada. Diperkirakan hanya 26 persen saja dari jumlah keseluruhan masyarakat yang suka membaca. Dari segi ekonomi mempunyai pendapatan perkapita masih cukup rendah. Bentuk mata pencaharian melalui bertani, nelayan, berkebun, dan mempunyai kapasitas pengangguran yang besar.
Negara berkembang baru dibentuk apabila penduduknya telah mula berubah secara amat kuat dari pada masyarakat praindustri kepada masyarakat modern. Adakalanya masalah yang dihadapi oleh negara-negara berkembang ini kelihatannya hampir tidak dapat diselesaikan karena negara-negara ini berusaha dalam jangka masa yang pendek untuk mencapaiperubahan dari politik, sosial, dan ekonomi. Adakalanya juga, negara berkembang ingin menjadi negara industri. Untuk mencapai status negara idustri ini negara berkembang memerlukan waktu yang cukup lama. Pembangunan seperti ini bukanlah tidak mungkin, tapi memerlukan kesabaran disebabkan memakan masa yang lama. Namun penerima perubahan sosial dan pembangunan kebangsaan menguraikan masa depan negara-negara berkembang dengan sikap optimis dan terkawal, sebagian besarnya dicirikan kepada peranan yang dimainkan oleh media komunikasi seperti media penyiaran dalam pembangunan negara.

3. Konsep dan Teori Perubahan Masyarakat
Masyarakat modern yang wujud pada hari ini di negara-negara Dunia Pertama, kedua dan kebanyakan Dunia Ketiga bukanlah wujud secara tiba-tiba, `pembangunan`, `ekonomi`, `teknologi`, dan `sosial` yang dicapai dikebanyakan negara-negara berkenaan bukanlah secara mendadak. Tetapi ia telah melalui berbagai peringkat perubahan, dengan menggunakan berbagai pendekatan dan metodelogi yang telah meninggalkan berbagai bentuk kesan dari berbagai tahap pencapaian (ponsion, 1965; Buchanan, 1965).
Kenyataan asas mengenai pergerakan perubahan ini diakui oleh banyak para pakar dalam bidang sosial dan telah dijelaskan dengan terperinci seperti Buchanan (1965), Etziono (1981), Ian Hogbin (1970), dan Leaur (1977) sebgai contoh. Perbedaan pandangan mengenai pergerakan perubahan sosial ini hanya timbul apabila para pakar tersebut coba melihat metodelogi dan pendekatan perubahan serta faktor-faktor utama yang mempengaruhi proses perubahan itu.
Pembahasan mengenai metodelogi dan pendekatan, serta faktor-faktor perubahan itu menjadi penting karena setiap arah yang diambil mengenai satu setiap satu pendekatan dan faktor itu lebih mempengaruhi dan meninggalkan kesan yang berbeda bagi setiap masyarakat yang menganutinya, terutama bagi negara-negara berkembang. Pendekatan media penyiaran sebagai salah satu unsur dalam mewujudkan perubahan sikap. Penelitian mengenai latar belakang perubahan sejagat adalah perlu. Ini adalah karena hakikat perubahan dan moderenisasi yang berlaku pada hari ini tidak berlaku secara sendiri. Setiap negara mempengaruhi negara lain untuk berubah (Buchanan, 1965).
Kemampuan media penyiaran, terutama televisi dalam mempengaruhi masyarakat telah banyak diteliti. Penelitian-penelitian yang dibuat Berelson, Lazarsfeld, dan McPhee (1954) dan Larner (1958) diperingkat awal, sehingga penelitian-penelitian yang dilakukan oleh Gerbner  (1976; 1977; 1978; 1980), Comstock (1981), dan Cok (1988), contohmya. . Semuanya menyentuh dalam penelitian mereka mengenai dampak dari media penyiaran dalam perubahan masyarakat, baik dampak itu berlaku secara langsung atau tidak. Penelitian-penelitian tersebut telah meneliti mengenai pengaruh yang ditinggalkan oleh media penyiaran terhadap khalayaknya. Secaraa umumnya para peneliti di bidng ini mengakui pada satu segi penyiaran ada meninggalkan kesan dalam proses perubahan.
Usaha-usaha untuk melihat hubungan antara penyiaran dan peerubahan masyarakat amat terbatas dilakukan di negara-negara berkembang (Lent, 1987). Walaupun ada dilakukan itupun kebanyakannya dilakukan setelah tahun 1970an (Maslog,1984). Malah data-data mendasar mengenai pola peliputan penyiaran di kalangan khalayak pun amat sukar diperoleh di sebagian negara di Asia Pasifik (Sanders, 1981: 197). Hasil desakan kepercayaan yang begitu kuat terhdap perubahan sosial melalui media penyiaran telah menyebabkan beberpa negara membangun melakukan penanaman modal yang tinggi dalam bidang ini. Dengan harapan penyiaran dapat membantu proses pembangunan (Katz dan Wedell, 1977; Head, 1974). Apabila pembangunan tidak dapat dijayakan seperti yang telah irancang, ( Chu, 1987; Lent, 1987) timbul soalan-soalan mengenai mengapa wujudnya keadaan yang sedemikian. Malah terdapat tulisan-tulisan seperti Dahlan (1987) dan Amunuguma (1987) misalnya yang berkecendrungan mempersoalkan kemampuan media penyiaran.
Oleh karena itu, dengan meninjau semula secara sistematis hubungan antara penyiaran dan perubahan masyarakat, khususnya perubahan sikap masyarakat, kedudukan penyiaran sebagai saluran difusi yang boleh meninggalkan pengaruh yang kuat kepada khalayak dapat dinilai semula (Katz, 19730. Sekurang-kurangnya tulisan ini dapat membantu, baik memperkuat kepercayaan yang telah ada, atau mewujudkan rasa kepercayaan yang tinggi dalam membuat spesikulasi-spesikulasi mengenai kemampuan penyiaran dalam proses perubahan masyarakat, terutama perubahan sikap dikalangan masyarakat di negara-negara berkembang.
4. Konsep Media Pembangunan
            Hachten adalah orang pertama yang membuat konsep media pembangunan, melihat bentuk komunikasi dan arah media di negara-negara sedang berkembang. Malah gagasan ini sebelumnya pernah disponsori oleh UNESCO melalui Scrmm (1968) yang berasaskan pada idea lerner tahun 1958. Setelah Perang Dunia II, pembangunan menjadi isu besar dikalangan para pemikir media dan komunikasi. Pada tahun 1981, Hachten telah melakukan perubahan terhadap model empat teori media yang telah diajukan oleh Siebert, Peterson, dan Scramm pada tahun 1956. Dalam buku The World Newa Prism (1981), Hachten mengusulkan tipologi lima konsep. Hachten telah mempertahankan konsep otoritarian dan komunis, menggabungkan libertarian dan tanggung jawab sosial ke dalam konsep Barat, kemudian menambahkan dua teori baru yaitu revolisioner dan pembangunan. Sebagian besar teori yang dikemukakan berkaitan dengan bentuk sistem politik dan ekonomi sesuatu negara. Nampaknya, setiap satu sistem politik di suatu negara mempunyai teori media yang berbeda.
            Seiring perjalanan waktu dan perkembangan masa, hachten (1981) menganggap teori media Siebert, Peterson, dan Scharmm dianggap klasik dan sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman untuk mewakili sistem media negara-negara di dunia tambahan pula wujudnya beberapa ritikan oleh beberapa orang sarjana komunikasi yang melihat wujudnya kekurangan dan ketidaksesuaian teori yang telah ada itu untuk mewakili siste media di dunia. Menurut Mohd. Safar Hasim (2005), sistem media berkaitan dengan sistem politik. Media dalam negara Dunia Ketiga atau negara-negara berkembang seperti yang dikatakan oleh Hachten (1981) sering dianggap mendukung dan bekerjasama dengan pemerintah dalam pembangunan negara.  Dalam sistem pemerintahan yang begitu bebas sekalipun media terpaksa untuk mematuhi peraturan yang diterapkan oleh pihak yang berkuasa. Dengan begitu wujud pengawasan terhadap media demi menjaga ketentraman negara. Pengawasan ini selalu terjadi, kadang-kadang terjadi perubahan-perubahan terhadap sistem pengawasan ini, dari pengawasan yang sepenuhnya (authoritarianisme), berubah kepada pengawasan yang agak longgar (libertrianisme) . Hachten (1981), tidak mempercayai dengan sistem media yang menganut kebebasan mutlak. Ia mengatakan, bahwa kebebasan mutlak itu adalah satu dongengan.
            Adapun prinsip-prinsip media pembangunan yang disampaikan oeh McQuail (1987) ialah:
1.      Media harus menerima dan melaksanakan tugas pembangunan sejajar dengan falsfah kebangsaan.
2.      kebebasan media hendaklah terbuka kepada pengawasan berdasarkan kepada kepentingan ekonomi dan pembangunan masyarakat
3.      Media harus memberikan keutmaan dari segi isi terhadap budaya dan bahasa nasional.
4.      Demi kepetingan pembangunan, negara mempunyai hak untuk campur tangan dalam operasi media, termasuk melaarang untuk diberitakan, dan subsidi pemerintah.
Rachmadi (1990) menguraikan sistem media negara negara sedang berkembang sebagai berikut:
1.      Sistem media cenderung mengikuti sistem media negara bekas penjjahannya.
2.      Media di negara berkembang berada dalam bentuk transasi. Ia masih berusaha mencari bentuk yang tepat untuk mencari identitas sendiri. Maka media negara berkembang masih dalam taraf transisi. Biasanya media negara berkembang mempunyai bentuk kurang stabil.
3.      Negara berkembang pada umumnya masih berada pada tahap sedang menjalankan pembangunan. Hal ini menyebakan media dalam negara tersebut dituntut untuk mempunyai peranan sebagai agen perubahan sosial (agen of sosial change), di mana media bersama-sama pemerintah mempunyai tanggungjawab atas keberhasilan pembangunan.
4.      Secara umu kebebasan di negara berkembang diakui ada, tetapi dalam pelaksanaannya terdapat batasan-batasan, karena media dituntut untuk ikut menjamin atau mengusahakan stabilitas politik dan ikutserta dalam pembangunan ekonomi.
5.      Sistem dan pola hubungan antara media massa dengan pemerintah mempunyai tendensi perpaduan antara sistem-sistem yang ada (libertarian, authoritarian, social responbility, dan sebagainya).
Di negara-negara berkembang, media massa dapat memberikan subangannya yang cukup besar sebagai alat perubahan sosial dalam usaha pembangunan bangsa. Media massa mengemban fungsi pendukung kemajuan dan meningkatkan kehidupan masyarakat kepada arah yang lebih baik. Media hadir di tengah-tengah masyarakat karena keberadaannya diperlukan oleh masyarakat. Schramm (1977) menyatakan bahwa media merupakan buku harian tercetak bagi manusia. Media massa sebagai sumber informasi yang terperinci dan interpretasi tentang masalah-masalah umum. Supaya media dapat memberi sumbangan yang lebih banyak kepada program pembangunan negara, pemberita harus membedakan cara penympaian berita-berita kriminal, politik, dengan berita hiburan.

5.Penyiaran di Negara Berkembang
            Perkembangan dan pembentukan sistem penyiaran di negara-negara di dunia, peneliti-peneliti seperti Codding. Jr (1959), Head (1974; 1976; 1985; 1987), dan Katz dan Wedell (1977), mereka mengaitkan sumber pergerakan perkembangan dan proses perwujudan sistem penyiaran di negara-negara di dunia dengan alam sekitarnya. Keadaan alam sekitar penyiaran yang paling sering dikatakan ialah yang berkaitan dengan perang Duni I dan II. Ini disebabkan bahwa setelah Perang Dunia I, penyiaran telah diperkenalkan hampir luas sekali ke seluruh negara di dunia. Penyiaran yang pertama sekali wujud masa itu melalui penyiaran radio.
            Berdasarkan teori yang dibuat oleh para sarjana seperti Katz & Wedell (1977), Head (1974), Codding. Jr (1959), Paulo (1956) dan Lent (1978), salah satu faktor utama wujud penyiaran radio pada negara-negara berkembang karena pengaruh penjajahan. Penelitian yang dilakukan oleh Lent (1978), terhadap penyiaran di negara-negara Dunia Ketiga, telah memberi empat gambaran berikut; pertama, sebagian besar negara-negara di Dunia Ketiga telah diperkenalkan dengan penyiaran radio melalui gerakan penjajahan. Kedua, sistem penyiaran yang dibentuk sewaktu negara-negara  berkenaan masih dijajah ialah sistem yang dimodelkan dari negara-negara yang menjajah itu sendiri. Ketiga, sistem penyiaran di negara-negara yang dijajah ini berubah atau disesuaikan daripada model yang diperkenalkan oleh kuasa penjajah kepada sistem tersendiri baik dalam konteks sistem politik maupun sistem sosial negara setempat. Keempat, kajian-kajian yang dilakukan oleh sarjana-sarjana tersebut dapat disimpulkan juga bahwa pola perkembangan penyiaran di antara sebuah negara dengan negara lain tidak seragam, walaupun telah melalui proses perkenalan dan pembentukan sistem penyiaran yang sama.
            Kesadaran tentang gambaran yang keempat itulah yang menyebabkn Head (1976 dan 1985) dan Howell Jr. (1986) membuat kesimpulan bahwa pengaruh keadaan politik dan sosio-budaya di dalam sebuah negara memainkan peranan penting dalam mempengaruhi perkembangan penyiaran radio dalam negara tersebut. Head (1974), telah menyadari keadaan ini sejak awal tahun 1970 melalui hasil penelitian yang dijalankan bersama kawan-kawan  di negara-negara benua afrika. Malah faktor-faktor keadaan inilah, terutama keadaan politik, yang menyebabkan wujudnya perbedaan diantara satu sistem penyiaran yang lain.
Tabel 1 berikut ini, sebuah penelitian yang telah dilakukan oleh Katz dan Wadell (1977), mengenai pembentukan penyiaran di negara-negara Dunia Ketiga. Beliau mengatakan bahwa wujudnya kuasa penjajah terhadap pembentukan penyiaran kepada negara Dunia Ketiga. Dari 91 negara yang dilakukan penelitian, 26 negara terpengaruh oleh kuasa Inggris, dan selanjutnya diikuti oleh Amerika Serikat dan Prancis masing-masing sebanyak 21 negara, Belgia 3 negara dan Spanyol, Selandia Baru masing-masing 1 negara dan yang menganut sistem campuran sebanyak 17 negara.

Tabel 1: Model Penyiaran di Negara Dunia Ketiga
Model
Jumlah Negara Dunia Ketiga
Inggris
    26
Amerika Serikat
    21
Prancis
    21
Belgia
     3
Spanyol
     1
Selandia Baru
     1
Belanda
     1
Model Campuran
    17
                                                                               91

            Negara Inggris merupakan negara yang paling banyak menerapkan model penyiarannya di negara-negara Dunia Ketiga, selanjutnya diikuti oleh Amerika Serikat dan Prancis. Perubahan model penyiaran dari negara maju ke negara sedang  membangun telah membawa perubahan terhadap; norma-norma, peraturan-peraturan yang bertulis, cara penerbitan, nilai, profesionalitas serta kepercayaan dan sikap. Perubahan ini berlaku melalui latihan, sosialisasi secara tidak langsung ia berfungsi sebagai pengimpor struktur, teknologi dan isi yang ditampilkan oleh penyiaran yang bersumber dari negara-negara maju (Katz dan Wedell, 1977). Di Malaysia, pemilikan penyiaran radio dan sistem pengelolaan telah dilakukan sendiri oleh Inggris kira-kira 10 tahun sebelum Malaysia mencapai kemerdekaan pada tahun 1957 (Asiah Sarji, 1995). Bagi Katz dan Wedell (1977), keadaan ini tidak mengherankan karena hampir semua negara yang sedang membangun di dunia yang pernah dijajah oleh kerajaan Inggris telah  menerima secara menyeluruh corak sistem penyiaran yang dibwakan oleh inggris atau corak penyiaran seperti BBC.
            Suata penelitian yang dilakukan Johari Achee (2000)mengenai penyiaran di negara Brunei Darussalam . keadaan rakyat Brunei Darussalam sebelum Inggris memberikan kemerdekaan penuh pada 1894, sebagian besar penduduk Brunei adalah buta huruf, sehingga apa yang disampaikan pemerintah melalui media cetak tidak dapat memberi manfaat apa-apa kepada masyarakatnya. Maka pemerintah Brunei berkeinginan untuk mendirikan station radio pada tanggal 2 Mei 1957. Tujuannya adalah supaya dapat membantu menyebarkan berita-berita penting dari pemerintah kepada rakyatnya. Sedang penyiaran televisi dilancarkan dengan resminya pada tanggal 9 juli 1975, kira-kira 19 tahun selepas radio Brunei semula disiarkan.
            Padahal keputusan untuk menghidupkan penyiaran televisi pun telah diluluskan pada akhir tahun 1960an, tetapi dibiarkan begitu saja selama beberapa tahun. Apa yang mencetuskan keputusan untuk menghidupkan penyiaran tersebut ialah disebabkan kemasukan siaran televisi Malaysia ke Brunei. Siaran televisi Malaysia itu dikhawatirkan oleh pemerintah brunei terhadap kesan dan pengaruh kepada rakyatnya. Pada tahun 1960 sampai akhir 1962, keadaan dua negara ini dari segi politik mengalami keadaan yang tidak menentu. Pembentukan Malaysia yang menggabungkan Malaya, Sabah, Sarawak, dan Singapura menyebabkan konfrontasi di antara Malaysia yang baru dibentuk dengan Indonesia. Karena Indonesia tidak setuju menggabungkan sabah dan Serawak kedalam negara Malaysia. Keadaan politik yang tidak baik telah menyebabkan pemerintah Brunei untuk mengadakan institusi media kebangsaan dan pada masa yang sama menghalangkan siaran media asing masuk ke negara Brunei. Asiah Sarji (1995), apabila sebuah negara berada dalam keadaan yang terancam, maka selagi itulah pembentukan dan pengembangan penyiaran dilakukan lebih berhati-hati berbanding dengan negara-negara yang keadaan sosio-budaya, ekonomi dan politiknya yang tenang.
            Menurut salah satu para ahli yang yaitu Asiah Sarji (1995) telah membuat penelitian mengenai penyiaran radio di Malaysia antara tahun 1920 sampai 1959. Beliau juga mendapati bahwa penyiaran radio di Malaysia sama seperti dikebanyakan negara yang dijajah oleh negara Inggris. Proses perkembangan penyiaran radio dilakukan secara sangat hati-hati. Faktor yang  jelas berlaku pada waktu itu mengapa kerajaan Inggris bersikap terlalu berhati-hati karena Inggris sedang berada diambang pergelutan politik dan ekonomi dunia sangat kacau. Dengan jumlah tanah jajahannya yang luas, dan tahun 1930-an pula, ia dihadapkan pada pintu perperangan di Eropa, dan Asia Timur ia berhadapan dengan desakan kuasa jepang yang mula mengembangkan sayapnya ke negara-negara di Asia. Pada masa yang sama, mereka mengetahui bahwa pengaruh komunis Cina dan Sofiet sedang menular ke Asia Tenggara dan India Selataan.
            Setelah kemerdekaan pada tahun 1957, penyiaaran Malaysia dikembangkan selain penyiaran radio kepada penyiaran televisi digabungkan ke dalam radio Televisyen Malaysia (RTM) di bawah pengadilan pemerintah. Setelah kemerdekaan, tujuan penyiaran untuk menerangkan kebijakan pemerintah dengan mengadakan liputan yang seluas-luasnya untuk membolehkan rakyat memahami dengan tepat terhadap kebijakan tersebut. Dan tidak juga meninggal pola hiburan melalui drama, musik dan sebagainya supaya tidak ditinggalkan oleh rakyat untuk menonton yang disiarkan. Oleh karena itu, sekiranya diambil penemuan Karthigesu (1994), Asiah Sarji (1995), Head (1976 dan 1985), Howell Jr. (1986), McQuail (2002), dan Merril (2000), dapat disimpulkan bahwa keadaan sosial budaya, ekonomi, dan politikk dalam suatu negara akan mempengaruhi corak terhadap bentuk sistem penyiaran di negara tersebut.
6.Kebebasan dan Regulasi
            Media penyiaran sama sperti media massa lain pada umumnya, yaitu dapat memainkan peranan penting dalam menstrukturkan pandangan khalayak. Faridah Ibrahim (2009) mengatakan kebanyakan khalayak perlu bergantung kepada media massa untuk memahami keadaan disekelilingnya. Dengan ini menjadikan kekuasaan berada pada tangan organisasi media untuk menentukan apa yang harus diterima oleh khalayak. Dalam hubungan ini, media boleh dikatakan mempunyai pengaruh yang sangat kuat dalam membentuk kognisi seseorng. Berbagai kejadian dan peristiwa yang terjadi di setiap pelosok dunia diberitakan oleh media massa baik itu media cetak maupun elektronik, senantiasa dinanti-nantikan oleh khalayak yang ingin tahu apa yang sedang terjadi disekeliling mereka
            Menurut Singlerati dalam Faridah Ibrahim (2009), masyarakat memandang bahwa berita yang dihasilkan melalui media massa adalah sebuah kebenaran. Masyarakat umum cenderung menerimanya tanpa banyak mempersoalkan tentang penilaian dan pemilihan berita, penonjolan berita serta pemilihan istilah dan bahasa yang digunakan di dalam pemberitaan. Secara khusus, McQuil (1987) mengatakan, media massa merupakan alat untuk mensosialisasikan dan menentukan agenda pemerintah untuk rakyatnya. Ini juga pernah diutarakan oleh Cohen (1963) yang mensponsori Agenda Setting Theori. Katanya, walaupun media massa tidak mampu menentukan bagaimana sesuatu itu dipikirkan oleh khalayak, tetapi media massa mempunyai kemampuan untuk menentukan apa yang harus dipikirkan khalayak. Dengan melihat faktor kekuatan yang dimilikii oleh media penyiaran dengan media lain pada umumnya yaitu mampu mempengaruhi pemikiran khalayak. Apakah media penyiaran harus diberi kebebasan, menyiarkan apa saja yang dikehendaki oleh si pemilik media ini? Atau apakah ia harus mendapat regulasi dari pemerintah untuk mengatur agar tidak terlalu bebas?
            Kebebasan ini harus dilihat dari perspektif yang lebih luas supaya tidak mengaburkan arti kebebasan itu sendiri. Persoalan yang perlu ditanyakan di sini, kebebasan untuk apa? Kebebasan dari siapa? Apakah ia satu kebebasan untuk berbuat apa saja? Adakah kebebasan ini terlepas dari kontrol pemerintah semata-mata? Atau adakah ia satu kebebasan untuk melariskan penjualan media dari masyarakat dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan yang besar?
Pandangan ini tentunya sangat subjektif dalam memaknakan maksud kebebasan itu sendiri. Sebab setiap negara ada pemahaman tersendiri terhadap kebebasan ini. Itu berkaitan dengan falsafah atau idiologi yang dianut oleh negara tersebut. Menuruut Mohd. Safar Hasim (2004), falsafah atau idiologi suatu negara tidak terbentuk secara vakum atau kekosongan, ia perlu disesuaikan dengan sistem lain yang ada dalam negara tersebut, diantaranya adalah dengan sistem politik, budaya dan agama,. Apabila corak kebebasan media tertentu bisa dijalankan di negara Indonesia, mungkin belum tentu bisa digunakan di negara lain. Misalnya saja dalam mengartikan bentuk pornografi yang disiarkan melalui siaran televisi, tentunya berbeda sekali penilaian masyarakat negara barat.  Yang non muslim dengan penilaian negara yang pola hidup masyarakatnya lebih kepada idiologi Islam khususnya Indonesia.  
            Sebenarnya, maalah kebebasan media sudah banyak dibahas sejak berabad-abad yang lalu dan jawabannya pun bermacam-macam. Ia boleh dirumuskan kepada beberapa aliran pemikiran. Ada yang menghendaki kebebasan itu tanpa kontrol dari pemerintah. Ia boleh menyiarkan berita apa saja seperti yang terangkup dalam teori libertarian. Ada yang menginginkan media media dikontrol oleh pemerintah seperti dalam teori autharian. Ada juga yang menginginkan ia bebas , tapi dengan sedikit kontrol dari pemerintah seperti dalam teori tanggung jawab sosial. Oleh karena itu, hakikat kebebasan mediaa itu sebenarnya adalah tidak ada di negara manapun di dunia, baik negara liberal, maaupun negara diktator, hanya saja tergantung pada tingkatan kebebasan itu sendiri, ada kebebasan secara mutlak dan ada juga yang sedikit bebas.
            Di negara liberal, semua pemberitaan dalam media massa dikuasai oleh orang-orang tertentu yang berkuasa dalam media berkenaan. Mungkin orang ini adalah pemilik media, redaktur, pengarang berita, perusahaan yang membeli ruang iklan. Di sini mereka dapat menentukan isi pemberitaan dalam suatu media massa, dan mereka juga boleh membuat pemberitaan sesuka hati mereka. Media massa dalam hal ini, tidak hanya dilihat sekedar tempat penyiaran berita semata-mata atau tempat penyampaian pendapat saja, tapi dapat juga dilihat sebagai komonitas perdagangan untuk mencari keuntungan. Para redaktur mungkin berpikir beberapa kali untuk menyiarkan berita pihak-pihak tertentu yang membawa implikasi negatif jika media massa itu bergantung keuangannya pada pihak tersebut, atau mungkin saja memilih untuk tiak menyiarkan pihak-pihak tertentu. Dengan begitu, bukan pemerintah saja yang dapat menentukan isi sebuah media, tapi pemilik media, redaktur, wartawan, kepentingan keuangan, dorongan popularitas, semua ini dapat menentukan kebebasan media itu sendiri (Mohd. Safar Hasim,2004).
            Di sini perlu dicermati adalah aturan atau regulasi terhadap sistem kebebasan media. Itu penting untuk dilakukan supaya ia tidak terlalu kebablasan. . sebab media dapat juga digunakan untuk mencapai keamanan dan bisa juga digunakan menghancurkan sesuatu bangsa. Walaupun lembaga PBB melalui UNESCO telah mengatakan, bahwa kebebasan media sebagai Hak Asasi Manusia yang perlu diwujudkan oleh setiap negara. Tapi menurut penulis, setiap kebebasan yang dijalankan hendaklah disertai dengan sikap hormat dan taat kepada undang-undang yang berlaku tanpa mengganggu kebebasan orang lain, selain itu, kebebasan media perlu digunakan dan dinikmati dengan rasa tanggung jawab. Kebebasan tidak harus meruntuhkan nilai-nilai kebudayaan suatu bangsa.
            Mohd. Safar Hasim (20040, telah mengibaratkan media massa termasuk media penyiaran, seperti sungai yang bebas mengalir bersimpng siur menjadi muara, tentulah indah apabila dipandang mata. Begitu juga media massa yang bebas untuk bertindak sendirian tentulah baik bagi aliran pemikiran tertentu. Sungai membawa banyak kebaikan pada manusia. Ia dapat menjadi sumber makanan, minuman, pengangkutan dan dapat juga dijadikan tempat untuk bersukaria. Begitu juga media, banyak juga memberi manfaat bagi manusia. Sungai dapat dicemari dengan sampah busuk, begitu juga media dapat dicemari dengan berbagai bahan yang tidak diinginkn. Adakalany sungai dapat membawa bencana banjir, begitu juga media massa boleh membawa bencana kepada negara jika terus menerus menyiarkan berita-berita yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.

Menurut Feintux (1998), ada 3 aspek mengapa media penyiaran perlu mendapat pengaturan:
Pertama, sebab media penyiaran menggunakan gelombang elektromagnetil. Sifat gelombang elektromagnetik ini sangat terbatas. Persoalan ini membuat pemerintah atau lembaga yang telah diberikan hak oleh pemerintah untuk terlibat dalam membuat pengaturan mengenai siapa yang berhak memiliki dan dan menggunakan gelombang elektromagnetik, dan siapa yang tidak berhak. Di sini pemerintah dianggap sebagai pihak yang mengontrol dan mengatur media penyiaran. Apabila masalah ini tidak diatur jadi ia akan terjadi tumpang-tindih dalam penggunaan frekuensi. Feintu (1998) mencontohkan, apabila pada waktu bersamaan terdapat dua orang atau banyak orang yang berbicara, maka akan mencapai kegagalan dalam melakukan komunikasi.
Kedua, adalah terhadap negara yang menganut sistem pemerintahan demokrasi. Media penyiaran sebagai alat untuk memperkuat pemerintah demokrasi. Sebab salah satu ciri utama yang diperlukan dalam negara demokrasi adalah adanya sesuatu yang menjamin keberagaman politik dan kebudayaan. Dengan demikian, dalam konteks media penyiaran, ada hak seseorang individu untuk tidak menerima tayangan-tayangan tertentu. Persoalan ini sama seperti ada hak negara untuk tidak menerima tayangan-tayangan televisi yang penuh dengan unsur seksualitas dan kekerasan. Misalnya, tayangan seks bertentangan dengan budaya masyarakat negara tertentu, terutama negara-negara yang mayoritas rakyatnya menganut negara islam.
Ketiga adalah alasan ekonomi. Dalam masalah ekonomi ini, apabila media penyiaran tidak diatur atau ia diberikan kebebasan, maka akan dimonopoli oleh kaum kapitalis. Kalau begini, akan menghancurkan ekonomi negara yang bersifat kerakyatan. Sebab alasan itu, Feintuck (1998) mengatakan, penyiaran ini diperlukan pengaturan supaya ia tidak bebas untuk merebut hak orang lain. 
            Dari pendapat Feintuck (1998) tersebut, dapat dilihat bahwa regulasi terhadap sistem penyiaran adalah wajib diperlukan dalam suatu negara. Walaupun negara itu mengamalkan sistem pemerintahan demokrasi disebabkan oleh keunikan pada media penyiaran ini. Sifat media penyiaran itu sendiri dalam melaksanakan siarannya harus menggunakan gelombang elektromagnetik. Agar ia tidak terjadi tumpang-tindih siaran dengan siaran penyiaran lain. Maka ia perlu pengaturan, regulasi ataupun undang-undang dalam mengatur masalah ini.













BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
            Penyiaran merupakan penemuan teknologi dalam bidang elektromagnetik yang ditemukan pada abad ke-19, telah digunakan secara meluas di negara maju dan negara-negara berkembang dalam rangka perubahan masyarakat untuk pembangunan negara. Media penyiaran  radio dan televisi  memunyai peran utama dalam mempercepatkan proses modernisasi dan pembangunan suatu negara. Media radio dan televisi merupakan alat penyampaian informasi dari pihak perancang pembangunan (pemerintah0 kepada pihak yang menerima pembangunan (masyarakat). Dengan begitu, hubungan media penyiaran dengan pemerintah sangat penting sekali supaya informasi yang disampaikan oleh pemerintah akan terus sampai kepada masyarakat.
            Media penyiaran juga dapat mengatasi masalah jarak geografis dan buta huruf karena kebolehan menjangkau lautan dan gunung untuk menemui berjuta orang secara cepat. Sejak penciptaan dan perluasan penggunaan media penyiaran ini, ia sering dijadikan bahan penelitian kepada berlakunya perubahan. Penelitian mengenai perubahan sosil yang telah dijalan selama ini, telah menunjukkan kecendrungan yang tinggi dikalangn para peneliti untuk mengakui bahwa terdapat hubungan yang berarti diantara perubahan sosial dengan penyiaran. Malah berlakunya pembentukan dan perkembangan sistem penyiaran di negara-negara yang sedang membangun dipertengahan kurun ke-20 adalah manisfestasi kepercayaan para pemimpin di begara-negara berkenaan terhadap penyiaran. Media penyiaran telah memberi harapan supaya dapat membantu proses perubahan masyarakat di negara-negra tersebut.






Referensi
Asiah Sarji. 1995. Pengaruh persekitaran politik dan sosio-budya terhadap pembangunan radio         Malaya terhadap pembangunan radio Malaya di antara tahun 1920-1959. Disertai Doktor Falsafah. Bangi: Pusat Pengajian Siswazah, Universiti Kebangsaan Malaysia.

Barbero, J., M. 1988. Communication from culture: the crisis of national and the emergence of the populer. Dalam Media, Culture and Society . Vol. 10: 447-465.

Berelson, B., Lazarsfeld, P.,F., dan McPhee.1954. Voting: a study of opinion formation in a presidential campaign. Chicago: University of Chicago press.

Cohen, B.1963. The Press and Foreign Policy. Princeton, New Jersey: Princeton University Press.

Feintuck, M. 1981. Media Regulation, Public Interest and Law. Edinburg: Edinburgh University Press.

Hachten, W., 1998. The World News Prism: Changing Media, Clasing Ideologies.Ames: The Iowa State University Press.

Howell, W., J. 1986. World broadcasting in the age of the satellite: comperative systems, policies and issues in mass telecommunication. Norwood, New Jarsey: Ablex Publishing Corporation.

Katz, E. 1973. The diffusion of new ideas and practices, reflections on research. Dalam. Voice of America: Mass Communication. Washington, D.C: United Internasional Information Agency:51-61.

Katz, E & Wedell, G. 1977. Broadcasting in the third world: promise and perfomance.London: The Macmillan Press Ltd.

Lent, J., A. 1978. Broadcasting in Asia and Pacific: a continental survey of radio and television. Philadelphia: Temple University Press.

McQuail, D. 1987. Mass acaommunication Theory: an Introduction. Eds ke2. London: Sage Publications.

Mohd. Safar Hasim. 2004. Akhbar di Malaysia: antara Kebebasan Dengan Tanggungjawab Sosial. Bangi: Universiti Kebangsaan Malaysia Press.


Schrmm, W. 1977. The Process and Effects of Mass Communications. Urbana : University of Illinois.
Share:
Location: Banda Aceh, Kota Banda Aceh, Aceh, Indonesia

Related Posts:

0 comments:

Post a Comment