BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Para
penganalisis ilmu sosial meneliti persoalaan-persoalan yang berkaitan dengan
pembangunan negara, seringkali media penyiaran dijadikan bahan pembahasan.
Banyak para pakar sains sosial mengatakan bahwa media penyiaran sebagai alat
pembangunan negara. Sebab media penyiaran sebagai salah satu variabel yang
turut bertanggungjawab dalam mengubah corak warna kehidupan sosial. Misalnya,
sebagai media literasi, sosialisasi, informasi dan sebagai media pembelajaran
lainnya. Media penyiaran mampu berfungsi sebagai alat yang membantu
mempercepatkan proses pembangunan bik dari strategi suka membaca.
Negara
berkembang baru dibentuk apabila penduduknya telah mula berubah secara amat
kuat daripada masyarakat praindustri kepada masyarakat modern. Ada kalanya
masalah yang dihadapi oleh negara berkembang
ini kelihatannya hampir tidak dapat diselesaikan karena negara-negara
ini berusaha dalam jangka masa yang pendek untuk mencapai perubahan dari
politik, sosial, dan ekonomi. Adakalanya juga, negara berkembang ingin menjadi
kepada negara industri. Untuk mencapai status negara industri ini, negara
berkembbang memerlukan waktu yang cukup lama. Pembangunan seperti ini bukanlah
tidak mungkin, tetapi memerlukan waktu yang cukup lama. Pembangunan seperti ini
bukanlah tidak mungkin, tetapi memerlukan kesabaran disebabkan memakan masa
yang lama. Namun penerima perubahan sosial dan pembangunan kebangsaan
menguraikan masa depan negara-negara berkembang dengan sikap optimis dan
terkawal, sebagian besarnya dicirikan kepada peranan yang dimainkan oleh media
komunikasi seperti media penyiaran dalam pembangunan negara.
B.
Rumusa
Masalah
1. Apa
pengertian dari penyiaran dalam pembangunan negara?
2. Apa
karakteristik dari negara berkembang?
3. Bagaimana
konsep dan teori perubahan masyarakat?
4. Bagaimana
konsep media pembangunan?
5. Bagaimana
penyiaran di negara berkembang?
6. Bagaimana
kebebasan dan regulasi penyiaran dalan pembangunan negara?
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian penyiaran dalam
pembangunan negara
Kata ‘siaran’ merupakan
padanan dari kata broadcast dalam bahasa Inggris.Undang-undang Penyiaran
memberikan pengertian siaran sebagai pesan atau rangkaian pesan dalam bentuk
suara, gambar, atau suara dan gambar
atau yang berbentuk grafis, karakter, baik yang bersifat interaktif maupun
tidak, yang dapat diterima melalui perangkat penerima siaran. Sementara
penyiaran yang merupakan padanan kata broadcasting memiliki pengertian sebagai
: kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran dan/atau sarana
transmisi di darat, di laut atau di antariksa dengan menggunakan spektrum
frekuensi radio (sinyal radio) yang berbentuk gelombang elektromagnetik yang
merambat melalui udara, kabel, dan atau media lainnya untuk dapat diterima
secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran. Pada sisi lain
Broadcasting mengandung
makna “ a medium that disseminates via telecommunications atau taking part in a
radio or tv program” , sehingga broadcasting dapat didefinisikan sebagai
penyebarluasan informasi berupa gambar bergerak dan suara serta multimedia
melalui media elektronik . Beberapa definisi lain menyebutkan bahwa pengertian
broadcasting adalah distribusi audio dan / atau video yang mengirimkan sinyal
program untuk penonton.
Penyiaran berperan dalam pembangunan sebuah negara,
hal ini bisa dilihat dari fungsi sebuah penyiaran tersebut dimana mayoritas
lembaga penyiaran bertujuan untuk mendapatkan profit atau aset yang mana secara
tidak langsung berhubungan dengan mapannya perekonomian sebuah negara. Seperti
contoh negara maju 30% pendapatan negaranya diperoleh dari pajak lembaga
penyiaran tersebut. Karena fungsi penyiaran tidak hanya sebagai sumber
informasi melainkan sebagai sumber pendapatan melalui periklanan dan marketing.
2.
Karakteristik
negara Berkembang
Salah
satu peristiwa yang sangat berarti dalam
pertengahan abad ke-20 adalah kemunculan negara-negara berkembang baik di Asia,
Afrika, Amerika latin maupun di negara-negara lain. Disebutkan negara
berkembang adalah negara bekas jajahan , kebanyakan berada di kawasan benua
Asia, Afrika, dan Amerika latin. Lahir sebagai negara nerdeka setelah Perang
Dunia II. Sistem politiknya biasanya mengikut atau meneruskan sistem politik
negara penjajah dengan ada sedikit perubahan mengikut kepada sosio-budaya dan
ekonomi masyarakat. Namun ada juga diantaraa negara berkembang melakukan
perubahan secara keseluruhan disebabkan oleh sistem politik negara penjajah
sudah tidak sesuai dalam konteks masyarakat dan aspirasi perjuangan sebelum
kemerdekaan.
Dari
segi penduduk, negara berkembang mempunyai masyarakat kurang berminat terhadap
membaca disebabkan masih lemah pendidikan yang ada. Diperkirakan hanya 26
persen saja dari jumlah keseluruhan masyarakat yang suka membaca. Dari segi
ekonomi mempunyai pendapatan perkapita masih cukup rendah. Bentuk mata
pencaharian melalui bertani, nelayan, berkebun, dan mempunyai kapasitas
pengangguran yang besar.
Negara
berkembang baru dibentuk apabila penduduknya telah mula berubah secara amat
kuat dari pada masyarakat praindustri kepada masyarakat modern. Adakalanya
masalah yang dihadapi oleh negara-negara berkembang ini kelihatannya hampir
tidak dapat diselesaikan karena negara-negara ini berusaha dalam jangka masa
yang pendek untuk mencapaiperubahan dari politik, sosial, dan ekonomi. Adakalanya
juga, negara berkembang ingin menjadi negara industri. Untuk mencapai status
negara idustri ini negara berkembang memerlukan waktu yang cukup lama.
Pembangunan seperti ini bukanlah tidak mungkin, tapi memerlukan kesabaran
disebabkan memakan masa yang lama. Namun penerima perubahan sosial dan
pembangunan kebangsaan menguraikan masa depan negara-negara berkembang dengan
sikap optimis dan terkawal, sebagian besarnya dicirikan kepada peranan yang
dimainkan oleh media komunikasi seperti media penyiaran dalam pembangunan
negara.
3. Konsep dan Teori Perubahan Masyarakat
Masyarakat
modern yang wujud pada hari ini di negara-negara Dunia Pertama, kedua dan
kebanyakan Dunia Ketiga bukanlah wujud secara tiba-tiba, `pembangunan`,
`ekonomi`, `teknologi`, dan `sosial` yang dicapai dikebanyakan negara-negara
berkenaan bukanlah secara mendadak. Tetapi ia telah melalui berbagai peringkat
perubahan, dengan menggunakan berbagai pendekatan dan metodelogi yang telah
meninggalkan berbagai bentuk kesan dari berbagai tahap pencapaian (ponsion,
1965; Buchanan, 1965).
Kenyataan
asas mengenai pergerakan perubahan ini diakui oleh banyak para pakar dalam
bidang sosial dan telah dijelaskan dengan terperinci seperti Buchanan (1965),
Etziono (1981), Ian Hogbin (1970), dan Leaur (1977) sebgai contoh. Perbedaan
pandangan mengenai pergerakan perubahan sosial ini hanya timbul apabila para
pakar tersebut coba melihat metodelogi dan pendekatan perubahan serta
faktor-faktor utama yang mempengaruhi proses perubahan itu.
Pembahasan
mengenai metodelogi dan pendekatan, serta faktor-faktor perubahan itu menjadi
penting karena setiap arah yang diambil mengenai satu setiap satu pendekatan
dan faktor itu lebih mempengaruhi dan meninggalkan kesan yang berbeda bagi
setiap masyarakat yang menganutinya, terutama bagi negara-negara berkembang.
Pendekatan media penyiaran sebagai salah satu unsur dalam mewujudkan perubahan
sikap. Penelitian mengenai latar belakang perubahan sejagat adalah perlu. Ini
adalah karena hakikat perubahan dan moderenisasi yang berlaku pada hari ini
tidak berlaku secara sendiri. Setiap negara mempengaruhi negara lain untuk
berubah (Buchanan, 1965).
Kemampuan
media penyiaran, terutama televisi dalam mempengaruhi masyarakat telah banyak
diteliti. Penelitian-penelitian yang dibuat Berelson, Lazarsfeld, dan McPhee
(1954) dan Larner (1958) diperingkat awal, sehingga penelitian-penelitian yang
dilakukan oleh Gerbner (1976; 1977;
1978; 1980), Comstock (1981), dan Cok (1988), contohmya. . Semuanya menyentuh
dalam penelitian mereka mengenai dampak dari media penyiaran dalam perubahan
masyarakat, baik dampak itu berlaku secara langsung atau tidak.
Penelitian-penelitian tersebut telah meneliti mengenai pengaruh yang
ditinggalkan oleh media penyiaran terhadap khalayaknya. Secaraa umumnya para peneliti
di bidng ini mengakui pada satu segi penyiaran ada meninggalkan kesan dalam
proses perubahan.
Usaha-usaha
untuk melihat hubungan antara penyiaran dan peerubahan masyarakat amat terbatas
dilakukan di negara-negara berkembang (Lent, 1987). Walaupun ada dilakukan
itupun kebanyakannya dilakukan setelah tahun 1970an (Maslog,1984). Malah
data-data mendasar mengenai pola peliputan penyiaran di kalangan khalayak pun
amat sukar diperoleh di sebagian negara di Asia Pasifik (Sanders, 1981: 197).
Hasil desakan kepercayaan yang begitu kuat terhdap perubahan sosial melalui
media penyiaran telah menyebabkan beberpa negara membangun melakukan penanaman
modal yang tinggi dalam bidang ini. Dengan harapan penyiaran dapat membantu
proses pembangunan (Katz dan Wedell, 1977; Head, 1974). Apabila pembangunan
tidak dapat dijayakan seperti yang telah irancang, ( Chu, 1987; Lent, 1987)
timbul soalan-soalan mengenai mengapa wujudnya keadaan yang sedemikian. Malah
terdapat tulisan-tulisan seperti Dahlan (1987) dan Amunuguma (1987) misalnya
yang berkecendrungan mempersoalkan kemampuan media penyiaran.
Oleh
karena itu, dengan meninjau semula secara sistematis hubungan antara penyiaran
dan perubahan masyarakat, khususnya perubahan sikap masyarakat, kedudukan
penyiaran sebagai saluran difusi yang boleh meninggalkan pengaruh yang kuat
kepada khalayak dapat dinilai semula (Katz, 19730. Sekurang-kurangnya tulisan
ini dapat membantu, baik memperkuat kepercayaan yang telah ada, atau mewujudkan
rasa kepercayaan yang tinggi dalam membuat spesikulasi-spesikulasi mengenai
kemampuan penyiaran dalam proses perubahan masyarakat, terutama perubahan sikap
dikalangan masyarakat di negara-negara berkembang.
4. Konsep Media Pembangunan
Hachten adalah orang pertama yang
membuat konsep media pembangunan, melihat bentuk komunikasi dan arah media di
negara-negara sedang berkembang. Malah gagasan ini sebelumnya pernah disponsori
oleh UNESCO melalui Scrmm (1968) yang berasaskan pada idea lerner tahun 1958.
Setelah Perang Dunia II, pembangunan menjadi isu besar dikalangan para pemikir
media dan komunikasi. Pada tahun 1981, Hachten telah melakukan perubahan
terhadap model empat teori media yang telah diajukan oleh Siebert, Peterson,
dan Scramm pada tahun 1956. Dalam buku The
World Newa Prism (1981), Hachten mengusulkan tipologi lima konsep. Hachten
telah mempertahankan konsep otoritarian dan komunis, menggabungkan libertarian
dan tanggung jawab sosial ke dalam konsep Barat, kemudian menambahkan dua teori
baru yaitu revolisioner dan pembangunan. Sebagian besar teori yang dikemukakan
berkaitan dengan bentuk sistem politik dan ekonomi sesuatu negara. Nampaknya,
setiap satu sistem politik di suatu negara mempunyai teori media yang berbeda.
Seiring perjalanan waktu dan
perkembangan masa, hachten (1981) menganggap teori media Siebert, Peterson, dan
Scharmm dianggap klasik dan sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman untuk
mewakili sistem media negara-negara di dunia tambahan pula wujudnya beberapa
ritikan oleh beberapa orang sarjana komunikasi yang melihat wujudnya kekurangan
dan ketidaksesuaian teori yang telah ada itu untuk mewakili siste media di
dunia. Menurut Mohd. Safar Hasim (2005), sistem media berkaitan dengan sistem
politik. Media dalam negara Dunia Ketiga atau negara-negara berkembang seperti
yang dikatakan oleh Hachten (1981) sering dianggap mendukung dan bekerjasama
dengan pemerintah dalam pembangunan negara.
Dalam sistem pemerintahan yang begitu bebas sekalipun media terpaksa
untuk mematuhi peraturan yang diterapkan oleh pihak yang berkuasa. Dengan begitu
wujud pengawasan terhadap media demi menjaga ketentraman negara. Pengawasan ini
selalu terjadi, kadang-kadang terjadi perubahan-perubahan terhadap sistem
pengawasan ini, dari pengawasan yang sepenuhnya (authoritarianisme), berubah kepada pengawasan yang agak longgar (libertrianisme) . Hachten (1981), tidak
mempercayai dengan sistem media yang menganut kebebasan mutlak. Ia mengatakan,
bahwa kebebasan mutlak itu adalah satu dongengan.
Adapun prinsip-prinsip media
pembangunan yang disampaikan oeh McQuail (1987) ialah:
1. Media
harus menerima dan melaksanakan tugas pembangunan sejajar dengan falsfah
kebangsaan.
2. kebebasan
media hendaklah terbuka kepada pengawasan berdasarkan kepada kepentingan
ekonomi dan pembangunan masyarakat
3. Media
harus memberikan keutmaan dari segi isi terhadap budaya dan bahasa nasional.
4. Demi
kepetingan pembangunan, negara mempunyai hak untuk campur tangan dalam operasi
media, termasuk melaarang untuk diberitakan, dan subsidi pemerintah.
Rachmadi
(1990) menguraikan sistem media negara negara sedang berkembang sebagai
berikut:
1. Sistem
media cenderung mengikuti sistem media negara bekas penjjahannya.
2. Media
di negara berkembang berada dalam bentuk transasi. Ia masih berusaha mencari
bentuk yang tepat untuk mencari identitas sendiri. Maka media negara berkembang
masih dalam taraf transisi. Biasanya media negara berkembang mempunyai bentuk
kurang stabil.
3. Negara
berkembang pada umumnya masih berada pada tahap sedang menjalankan pembangunan.
Hal ini menyebakan media dalam negara tersebut dituntut untuk mempunyai peranan
sebagai agen perubahan sosial (agen of
sosial change), di mana media bersama-sama pemerintah mempunyai
tanggungjawab atas keberhasilan pembangunan.
4. Secara
umu kebebasan di negara berkembang diakui ada, tetapi dalam pelaksanaannya
terdapat batasan-batasan, karena media dituntut untuk ikut menjamin atau
mengusahakan stabilitas politik dan ikutserta dalam pembangunan ekonomi.
5.
Sistem dan pola hubungan antara
media massa dengan pemerintah mempunyai tendensi perpaduan antara sistem-sistem
yang ada (libertarian, authoritarian,
social responbility, dan sebagainya).
Di
negara-negara berkembang, media massa dapat memberikan subangannya yang cukup
besar sebagai alat perubahan sosial dalam usaha pembangunan bangsa. Media massa
mengemban fungsi pendukung kemajuan dan meningkatkan kehidupan masyarakat
kepada arah yang lebih baik. Media hadir di tengah-tengah masyarakat karena
keberadaannya diperlukan oleh masyarakat. Schramm (1977) menyatakan bahwa media
merupakan buku harian tercetak bagi manusia. Media massa sebagai sumber
informasi yang terperinci dan interpretasi tentang masalah-masalah umum. Supaya
media dapat memberi sumbangan yang lebih banyak kepada program pembangunan
negara, pemberita harus membedakan cara penympaian berita-berita kriminal,
politik, dengan berita hiburan.
5.Penyiaran di Negara Berkembang
Perkembangan
dan pembentukan sistem penyiaran di negara-negara di dunia, peneliti-peneliti
seperti Codding. Jr (1959), Head (1974; 1976; 1985; 1987), dan Katz dan Wedell
(1977), mereka mengaitkan sumber pergerakan perkembangan dan proses perwujudan
sistem penyiaran di negara-negara di dunia dengan alam sekitarnya. Keadaan alam
sekitar penyiaran yang paling sering dikatakan ialah yang berkaitan dengan
perang Duni I dan II. Ini disebabkan bahwa setelah Perang Dunia I, penyiaran
telah diperkenalkan hampir luas sekali ke seluruh negara di dunia. Penyiaran
yang pertama sekali wujud masa itu melalui penyiaran radio.
Berdasarkan teori yang dibuat oleh
para sarjana seperti Katz & Wedell (1977), Head (1974), Codding. Jr (1959),
Paulo (1956) dan Lent (1978), salah satu faktor utama wujud penyiaran radio
pada negara-negara berkembang karena pengaruh penjajahan. Penelitian yang
dilakukan oleh Lent (1978), terhadap penyiaran di negara-negara Dunia Ketiga,
telah memberi empat gambaran berikut; pertama,
sebagian besar negara-negara di Dunia Ketiga telah diperkenalkan dengan
penyiaran radio melalui gerakan penjajahan.
Kedua, sistem penyiaran yang dibentuk sewaktu negara-negara berkenaan masih dijajah ialah sistem yang
dimodelkan dari negara-negara yang menjajah itu sendiri. Ketiga, sistem penyiaran di negara-negara yang dijajah ini berubah
atau disesuaikan daripada model yang diperkenalkan oleh kuasa penjajah kepada
sistem tersendiri baik dalam konteks sistem politik maupun sistem sosial negara
setempat. Keempat, kajian-kajian yang
dilakukan oleh sarjana-sarjana tersebut dapat disimpulkan juga bahwa pola
perkembangan penyiaran di antara sebuah negara dengan negara lain tidak
seragam, walaupun telah melalui proses perkenalan dan pembentukan sistem
penyiaran yang sama.
Kesadaran tentang gambaran yang
keempat itulah yang menyebabkn Head (1976 dan 1985) dan Howell Jr. (1986)
membuat kesimpulan bahwa pengaruh keadaan politik dan sosio-budaya di dalam sebuah
negara memainkan peranan penting dalam mempengaruhi perkembangan penyiaran
radio dalam negara tersebut. Head (1974), telah menyadari keadaan ini sejak
awal tahun 1970 melalui hasil penelitian yang dijalankan bersama kawan-kawan di negara-negara benua afrika. Malah
faktor-faktor keadaan inilah, terutama keadaan politik, yang menyebabkan
wujudnya perbedaan diantara satu sistem penyiaran yang lain.
Tabel
1 berikut ini, sebuah penelitian yang telah dilakukan oleh Katz dan Wadell
(1977), mengenai pembentukan penyiaran di negara-negara Dunia Ketiga. Beliau
mengatakan bahwa wujudnya kuasa penjajah terhadap pembentukan penyiaran kepada
negara Dunia Ketiga. Dari 91 negara yang dilakukan penelitian, 26 negara
terpengaruh oleh kuasa Inggris, dan selanjutnya diikuti oleh Amerika Serikat
dan Prancis masing-masing sebanyak 21 negara, Belgia 3 negara dan Spanyol,
Selandia Baru masing-masing 1 negara dan yang menganut sistem campuran sebanyak
17 negara.
Tabel 1: Model Penyiaran di Negara
Dunia Ketiga
Model
|
Jumlah
Negara Dunia Ketiga
|
Inggris
|
26
|
Amerika Serikat
|
21
|
Prancis
|
21
|
Belgia
|
3
|
Spanyol
|
1
|
Selandia Baru
|
1
|
Belanda
|
1
|
Model Campuran
|
17
|
91
|
Negara Inggris merupakan negara yang
paling banyak menerapkan model penyiarannya di negara-negara Dunia Ketiga,
selanjutnya diikuti oleh Amerika Serikat dan Prancis. Perubahan model penyiaran
dari negara maju ke negara sedang
membangun telah membawa perubahan terhadap; norma-norma,
peraturan-peraturan yang bertulis, cara penerbitan, nilai, profesionalitas
serta kepercayaan dan sikap. Perubahan ini berlaku melalui latihan, sosialisasi
secara tidak langsung ia berfungsi sebagai pengimpor struktur, teknologi dan
isi yang ditampilkan oleh penyiaran yang bersumber dari negara-negara maju
(Katz dan Wedell, 1977). Di Malaysia, pemilikan penyiaran radio dan sistem
pengelolaan telah dilakukan sendiri oleh Inggris kira-kira 10 tahun sebelum
Malaysia mencapai kemerdekaan pada tahun 1957 (Asiah Sarji, 1995). Bagi Katz
dan Wedell (1977), keadaan ini tidak mengherankan karena hampir semua negara
yang sedang membangun di dunia yang pernah dijajah oleh kerajaan Inggris
telah menerima secara menyeluruh corak
sistem penyiaran yang dibwakan oleh inggris atau corak penyiaran seperti BBC.
Suata penelitian yang dilakukan
Johari Achee (2000)mengenai penyiaran di negara Brunei Darussalam . keadaan
rakyat Brunei Darussalam sebelum Inggris memberikan kemerdekaan penuh pada
1894, sebagian besar penduduk Brunei adalah buta huruf, sehingga apa yang
disampaikan pemerintah melalui media cetak tidak dapat memberi manfaat apa-apa
kepada masyarakatnya. Maka pemerintah Brunei berkeinginan untuk mendirikan
station radio pada tanggal 2 Mei 1957. Tujuannya adalah supaya dapat membantu
menyebarkan berita-berita penting dari pemerintah kepada rakyatnya. Sedang
penyiaran televisi dilancarkan dengan resminya pada tanggal 9 juli 1975,
kira-kira 19 tahun selepas radio Brunei semula disiarkan.
Padahal keputusan untuk menghidupkan
penyiaran televisi pun telah diluluskan pada akhir tahun 1960an, tetapi
dibiarkan begitu saja selama beberapa tahun. Apa yang mencetuskan keputusan
untuk menghidupkan penyiaran tersebut ialah disebabkan kemasukan siaran televisi
Malaysia ke Brunei. Siaran televisi Malaysia itu dikhawatirkan oleh pemerintah
brunei terhadap kesan dan pengaruh kepada rakyatnya. Pada tahun 1960 sampai
akhir 1962, keadaan dua negara ini dari segi politik mengalami keadaan yang
tidak menentu. Pembentukan Malaysia yang menggabungkan Malaya, Sabah, Sarawak,
dan Singapura menyebabkan konfrontasi di antara Malaysia yang baru dibentuk
dengan Indonesia. Karena Indonesia tidak setuju menggabungkan sabah dan Serawak
kedalam negara Malaysia. Keadaan politik yang tidak baik telah menyebabkan
pemerintah Brunei untuk mengadakan institusi media kebangsaan dan pada masa
yang sama menghalangkan siaran media asing masuk ke negara Brunei. Asiah Sarji
(1995), apabila sebuah negara berada dalam keadaan yang terancam, maka selagi
itulah pembentukan dan pengembangan penyiaran dilakukan lebih berhati-hati
berbanding dengan negara-negara yang keadaan sosio-budaya, ekonomi dan
politiknya yang tenang.
Menurut salah satu para ahli yang
yaitu Asiah Sarji (1995) telah membuat penelitian mengenai penyiaran radio di
Malaysia antara tahun 1920 sampai 1959. Beliau juga mendapati bahwa penyiaran
radio di Malaysia sama seperti dikebanyakan negara yang dijajah oleh negara
Inggris. Proses perkembangan penyiaran radio dilakukan secara sangat hati-hati.
Faktor yang jelas berlaku pada waktu itu
mengapa kerajaan Inggris bersikap terlalu berhati-hati karena Inggris sedang
berada diambang pergelutan politik dan ekonomi dunia sangat kacau. Dengan
jumlah tanah jajahannya yang luas, dan tahun 1930-an pula, ia dihadapkan pada
pintu perperangan di Eropa, dan Asia Timur ia berhadapan dengan desakan kuasa
jepang yang mula mengembangkan sayapnya ke negara-negara di Asia. Pada masa
yang sama, mereka mengetahui bahwa pengaruh komunis Cina dan Sofiet sedang
menular ke Asia Tenggara dan India Selataan.
Setelah kemerdekaan pada tahun 1957,
penyiaaran Malaysia dikembangkan selain penyiaran radio kepada penyiaran
televisi digabungkan ke dalam radio Televisyen Malaysia (RTM) di bawah
pengadilan pemerintah. Setelah kemerdekaan, tujuan penyiaran untuk menerangkan
kebijakan pemerintah dengan mengadakan liputan yang seluas-luasnya untuk
membolehkan rakyat memahami dengan tepat terhadap kebijakan tersebut. Dan tidak
juga meninggal pola hiburan melalui drama, musik dan sebagainya supaya tidak
ditinggalkan oleh rakyat untuk menonton yang disiarkan. Oleh karena itu,
sekiranya diambil penemuan Karthigesu (1994), Asiah Sarji (1995), Head (1976
dan 1985), Howell Jr. (1986), McQuail (2002), dan Merril (2000), dapat disimpulkan
bahwa keadaan sosial budaya, ekonomi, dan politikk dalam suatu negara akan
mempengaruhi corak terhadap bentuk sistem penyiaran di negara tersebut.
6.Kebebasan dan Regulasi
Media penyiaran sama sperti media
massa lain pada umumnya, yaitu dapat memainkan peranan penting dalam
menstrukturkan pandangan khalayak. Faridah Ibrahim (2009) mengatakan kebanyakan
khalayak perlu bergantung kepada media massa untuk memahami keadaan
disekelilingnya. Dengan ini menjadikan kekuasaan berada pada tangan organisasi
media untuk menentukan apa yang harus diterima oleh khalayak. Dalam hubungan
ini, media boleh dikatakan mempunyai pengaruh yang sangat kuat dalam membentuk
kognisi seseorng. Berbagai kejadian dan peristiwa yang terjadi di setiap
pelosok dunia diberitakan oleh media massa baik itu media cetak maupun
elektronik, senantiasa dinanti-nantikan oleh khalayak yang ingin tahu apa yang
sedang terjadi disekeliling mereka
Menurut Singlerati dalam Faridah
Ibrahim (2009), masyarakat memandang bahwa berita yang dihasilkan melalui media
massa adalah sebuah kebenaran. Masyarakat umum cenderung menerimanya tanpa
banyak mempersoalkan tentang penilaian dan pemilihan berita, penonjolan berita
serta pemilihan istilah dan bahasa yang digunakan di dalam pemberitaan. Secara
khusus, McQuil (1987) mengatakan, media massa merupakan alat untuk
mensosialisasikan dan menentukan agenda pemerintah untuk rakyatnya. Ini juga
pernah diutarakan oleh Cohen (1963) yang mensponsori Agenda Setting Theori. Katanya, walaupun media massa tidak mampu
menentukan bagaimana sesuatu itu dipikirkan oleh khalayak, tetapi media massa
mempunyai kemampuan untuk menentukan apa yang harus dipikirkan khalayak. Dengan
melihat faktor kekuatan yang dimilikii oleh media penyiaran dengan media lain
pada umumnya yaitu mampu mempengaruhi pemikiran khalayak. Apakah media
penyiaran harus diberi kebebasan, menyiarkan apa saja yang dikehendaki oleh si
pemilik media ini? Atau apakah ia harus mendapat regulasi dari pemerintah untuk
mengatur agar tidak terlalu bebas?
Kebebasan ini harus dilihat dari
perspektif yang lebih luas supaya tidak mengaburkan arti kebebasan itu sendiri.
Persoalan yang perlu ditanyakan di sini, kebebasan untuk apa? Kebebasan dari
siapa? Apakah ia satu kebebasan untuk berbuat apa saja? Adakah kebebasan ini
terlepas dari kontrol pemerintah semata-mata? Atau adakah ia satu kebebasan
untuk melariskan penjualan media dari masyarakat dengan tujuan untuk
mendapatkan keuntungan yang besar?
Pandangan
ini tentunya sangat subjektif dalam memaknakan maksud kebebasan itu sendiri.
Sebab setiap negara ada pemahaman tersendiri terhadap kebebasan ini. Itu
berkaitan dengan falsafah atau idiologi yang dianut oleh negara tersebut. Menuruut
Mohd. Safar Hasim (2004), falsafah atau idiologi suatu negara tidak terbentuk
secara vakum atau kekosongan, ia perlu disesuaikan dengan sistem lain yang ada
dalam negara tersebut, diantaranya adalah dengan sistem politik, budaya dan
agama,. Apabila corak kebebasan media tertentu bisa dijalankan di negara
Indonesia, mungkin belum tentu bisa digunakan di negara lain. Misalnya saja
dalam mengartikan bentuk pornografi yang disiarkan melalui siaran televisi,
tentunya berbeda sekali penilaian masyarakat negara barat. Yang non muslim dengan penilaian negara yang
pola hidup masyarakatnya lebih kepada idiologi Islam khususnya Indonesia.
Sebenarnya, maalah kebebasan media
sudah banyak dibahas sejak berabad-abad yang lalu dan jawabannya pun
bermacam-macam. Ia boleh dirumuskan kepada beberapa aliran pemikiran. Ada yang
menghendaki kebebasan itu tanpa kontrol dari pemerintah. Ia boleh menyiarkan
berita apa saja seperti yang terangkup dalam teori libertarian. Ada yang
menginginkan media media dikontrol oleh pemerintah seperti dalam teori
autharian. Ada juga yang menginginkan ia bebas , tapi dengan sedikit kontrol
dari pemerintah seperti dalam teori tanggung jawab sosial. Oleh karena itu,
hakikat kebebasan mediaa itu sebenarnya adalah tidak ada di negara manapun di
dunia, baik negara liberal, maaupun negara diktator, hanya saja tergantung pada
tingkatan kebebasan itu sendiri, ada kebebasan secara mutlak dan ada juga yang
sedikit bebas.
Di negara liberal, semua pemberitaan
dalam media massa dikuasai oleh orang-orang tertentu yang berkuasa dalam media
berkenaan. Mungkin orang ini adalah pemilik media, redaktur, pengarang berita,
perusahaan yang membeli ruang iklan. Di sini mereka dapat menentukan isi
pemberitaan dalam suatu media massa, dan mereka juga boleh membuat pemberitaan
sesuka hati mereka. Media massa dalam hal ini, tidak hanya dilihat sekedar
tempat penyiaran berita semata-mata atau tempat penyampaian pendapat saja, tapi
dapat juga dilihat sebagai komonitas perdagangan untuk mencari keuntungan. Para
redaktur mungkin berpikir beberapa kali untuk menyiarkan berita pihak-pihak
tertentu yang membawa implikasi negatif jika media massa itu bergantung
keuangannya pada pihak tersebut, atau mungkin saja memilih untuk tiak
menyiarkan pihak-pihak tertentu. Dengan begitu, bukan pemerintah saja yang
dapat menentukan isi sebuah media, tapi pemilik media, redaktur, wartawan,
kepentingan keuangan, dorongan popularitas, semua ini dapat menentukan
kebebasan media itu sendiri (Mohd. Safar Hasim,2004).
Di sini perlu dicermati adalah
aturan atau regulasi terhadap sistem kebebasan media. Itu penting untuk
dilakukan supaya ia tidak terlalu kebablasan. . sebab media dapat juga
digunakan untuk mencapai keamanan dan bisa juga digunakan menghancurkan sesuatu
bangsa. Walaupun lembaga PBB melalui UNESCO telah mengatakan, bahwa kebebasan
media sebagai Hak Asasi Manusia yang perlu diwujudkan oleh setiap negara. Tapi
menurut penulis, setiap kebebasan yang dijalankan hendaklah disertai dengan
sikap hormat dan taat kepada undang-undang yang berlaku tanpa mengganggu
kebebasan orang lain, selain itu, kebebasan media perlu digunakan dan dinikmati
dengan rasa tanggung jawab. Kebebasan tidak harus meruntuhkan nilai-nilai
kebudayaan suatu bangsa.
Mohd. Safar Hasim (20040, telah
mengibaratkan media massa termasuk media penyiaran, seperti sungai yang bebas
mengalir bersimpng siur menjadi muara, tentulah indah apabila dipandang mata.
Begitu juga media massa yang bebas untuk bertindak sendirian tentulah baik bagi
aliran pemikiran tertentu. Sungai membawa banyak kebaikan pada manusia. Ia
dapat menjadi sumber makanan, minuman, pengangkutan dan dapat juga dijadikan
tempat untuk bersukaria. Begitu juga media, banyak juga memberi manfaat bagi
manusia. Sungai dapat dicemari dengan sampah busuk, begitu juga media dapat
dicemari dengan berbagai bahan yang tidak diinginkn. Adakalany sungai dapat
membawa bencana banjir, begitu juga media massa boleh membawa bencana kepada
negara jika terus menerus menyiarkan berita-berita yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Menurut
Feintux (1998), ada 3 aspek mengapa media penyiaran perlu mendapat pengaturan:
Pertama,
sebab media penyiaran menggunakan gelombang elektromagnetil. Sifat gelombang
elektromagnetik ini sangat terbatas. Persoalan ini membuat pemerintah atau
lembaga yang telah diberikan hak oleh pemerintah untuk terlibat dalam membuat
pengaturan mengenai siapa yang berhak memiliki dan dan menggunakan gelombang
elektromagnetik, dan siapa yang tidak berhak. Di sini pemerintah dianggap
sebagai pihak yang mengontrol dan mengatur media penyiaran. Apabila masalah ini
tidak diatur jadi ia akan terjadi tumpang-tindih dalam penggunaan frekuensi.
Feintu (1998) mencontohkan, apabila pada waktu bersamaan terdapat dua orang
atau banyak orang yang berbicara, maka akan mencapai kegagalan dalam melakukan
komunikasi.
Kedua,
adalah terhadap negara yang menganut sistem pemerintahan demokrasi. Media
penyiaran sebagai alat untuk memperkuat pemerintah demokrasi. Sebab salah satu
ciri utama yang diperlukan dalam negara demokrasi adalah adanya sesuatu yang
menjamin keberagaman politik dan kebudayaan. Dengan demikian, dalam konteks
media penyiaran, ada hak seseorang individu untuk tidak menerima
tayangan-tayangan tertentu. Persoalan ini sama seperti ada hak negara untuk
tidak menerima tayangan-tayangan televisi yang penuh dengan unsur seksualitas
dan kekerasan. Misalnya, tayangan seks bertentangan dengan budaya masyarakat
negara tertentu, terutama negara-negara yang mayoritas rakyatnya menganut
negara islam.
Ketiga
adalah alasan ekonomi. Dalam masalah ekonomi ini, apabila media penyiaran tidak
diatur atau ia diberikan kebebasan, maka akan dimonopoli oleh kaum kapitalis.
Kalau begini, akan menghancurkan ekonomi negara yang bersifat kerakyatan. Sebab
alasan itu, Feintuck (1998) mengatakan, penyiaran ini diperlukan pengaturan
supaya ia tidak bebas untuk merebut hak orang lain.
Dari pendapat Feintuck (1998)
tersebut, dapat dilihat bahwa regulasi terhadap sistem penyiaran adalah wajib
diperlukan dalam suatu negara. Walaupun negara itu mengamalkan sistem
pemerintahan demokrasi disebabkan oleh keunikan pada media penyiaran ini. Sifat
media penyiaran itu sendiri dalam melaksanakan siarannya harus menggunakan
gelombang elektromagnetik. Agar ia tidak terjadi tumpang-tindih siaran dengan
siaran penyiaran lain. Maka ia perlu pengaturan, regulasi ataupun undang-undang
dalam mengatur masalah ini.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Penyiaran
merupakan penemuan teknologi dalam bidang elektromagnetik yang ditemukan pada
abad ke-19, telah digunakan secara meluas di negara maju dan negara-negara
berkembang dalam rangka perubahan masyarakat untuk pembangunan negara. Media
penyiaran radio dan televisi memunyai peran utama dalam mempercepatkan
proses modernisasi dan pembangunan suatu negara. Media radio dan televisi
merupakan alat penyampaian informasi dari pihak perancang pembangunan
(pemerintah0 kepada pihak yang menerima pembangunan (masyarakat). Dengan
begitu, hubungan media penyiaran dengan pemerintah sangat penting sekali supaya
informasi yang disampaikan oleh pemerintah akan terus sampai kepada masyarakat.
Media penyiaran juga dapat mengatasi
masalah jarak geografis dan buta huruf karena kebolehan menjangkau lautan dan
gunung untuk menemui berjuta orang secara cepat. Sejak penciptaan dan perluasan
penggunaan media penyiaran ini, ia sering dijadikan bahan penelitian kepada
berlakunya perubahan. Penelitian mengenai perubahan sosil yang telah dijalan
selama ini, telah menunjukkan kecendrungan yang tinggi dikalangn para peneliti
untuk mengakui bahwa terdapat hubungan yang berarti diantara perubahan sosial
dengan penyiaran. Malah berlakunya pembentukan dan perkembangan sistem
penyiaran di negara-negara yang sedang membangun dipertengahan kurun ke-20
adalah manisfestasi kepercayaan para pemimpin di begara-negara berkenaan
terhadap penyiaran. Media penyiaran telah memberi harapan supaya dapat membantu
proses perubahan masyarakat di negara-negra tersebut.
Referensi
Asiah
Sarji. 1995. Pengaruh persekitaran politik dan sosio-budya terhadap pembangunan
radio Malaya terhadap pembangunan
radio Malaya di antara tahun 1920-1959. Disertai Doktor Falsafah. Bangi: Pusat
Pengajian Siswazah, Universiti Kebangsaan Malaysia.
Barbero,
J., M. 1988. Communication from culture: the crisis of national and the
emergence of the populer. Dalam Media, Culture and Society . Vol. 10: 447-465.
Berelson,
B., Lazarsfeld, P.,F., dan McPhee.1954. Voting:
a study of opinion formation in a
presidential campaign. Chicago: University of Chicago press.
Cohen,
B.1963. The Press and Foreign Policy.
Princeton, New Jersey: Princeton University Press.
Feintuck,
M. 1981. Media Regulation, Public
Interest and Law. Edinburg: Edinburgh University Press.
Hachten,
W., 1998. The World News Prism: Changing
Media, Clasing Ideologies.Ames: The Iowa State University Press.
Howell,
W., J. 1986. World broadcasting in the
age of the satellite: comperative systems, policies and issues in mass
telecommunication. Norwood, New Jarsey: Ablex Publishing Corporation.
Katz,
E. 1973. The diffusion of new ideas and practices, reflections on research.
Dalam. Voice of America: Mass
Communication. Washington, D.C: United Internasional Information
Agency:51-61.
Katz,
E & Wedell, G. 1977. Broadcasting in
the third world: promise and perfomance.London: The Macmillan Press Ltd.
Lent,
J., A. 1978. Broadcasting in Asia and
Pacific: a continental survey of radio and television. Philadelphia: Temple
University Press.
McQuail,
D. 1987. Mass acaommunication Theory: an
Introduction. Eds ke2. London: Sage Publications.
Mohd.
Safar Hasim. 2004. Akhbar di Malaysia:
antara Kebebasan Dengan Tanggungjawab Sosial. Bangi: Universiti Kebangsaan
Malaysia Press.
Schrmm,
W. 1977. The Process and Effects of Mass
Communications. Urbana :
University of Illinois.
0 comments:
Post a Comment